Masih ada satu sisa gigitan sandwich di tanganku dan aku pun segera melahapnya cepat sebelum akhirnya berlari kembali ke rumah sakit. Amanda terpaksa memasukkan kembali setengah burgernya ke dalam bungkus dan menentengnya kuat-kuat sambil berlari mengikutiku.
"Nadia, 29 tahun, dan tidak ada respon!" pekik salah satu perawat yang sedang mendorong seorang pasien di atas ambulance stretcher. "Lemah dan pernapasan agonal," lanjutnya.
"Ruang tindakan dua!" jawab Resti cepat.
Aku bergabung dengan perawat itu membantu mendorong hingga ruangan yang telah ditunjuk oleh Resti. Mataku menangkap sosok bocah laki-laki yang digendong oleh salah satu petugas ambulans. "Apakah anak itu terluka?"
"Tidak. Dia sama sekali tidak tersentuh, karena sang ibu memeluk dan melindunginya dari injakan. Ayahnya berada di ambulans tepat di belakang kami," jelasnya begitu detail.
"Resti, tolong bawa anak itu ke suatu tempat hingga ayahnya tiba di sini!" kataku cepat sebelum menghilang ke dalam ruang tindakan.
"Dua epi dan denyut nadi lemah," kata Prita yang membantu kami saat itu. "Aku kesulitan memberi napas bantuan. Banyak perlawanan," lanjutnya. Ia menatap layar monitor, "tekanan darah tujuh puluh per empat puluh, detak jantung seratus tiga puluh."
"Kondisinya menurun dan tak ada suara napas di sisi kiri." Amanda bergerak cepat, tepat di sampingku.
"Tak ada denyut dan dia kehilangan kesadaran," ujarku yang segera melakukan CPR. "Satu miligram epi!" pintaku yang terus melakukan CPR dengan kuat, berharap adanya satu lagi keajaiban.
"Bergeserlah agar aku bisa pasangkan jarum di dada kirinya," kata Amanda sembari menyiapkan peralatan. "Tahan kompresi!" lanjutnya yang kemudian segera bertindak.
Keajaiban yang kunantikan pun terjadi.
"Periksa denyutnya dan berikan tekanan!" pintaku sambil terus menatap layar monitor dengan napas sedikit terengah.
"Seratus per tujuh puluh delapan dan detak jantung seratus dua puluh," ucap Prita di hadapanku yang juga menatap layar monitor.
"Berapa lama dia tidak sadarkan diri?" tanyaku.
"Dua puluh tiga menit," jawabnya.
"Pasien terakhir yang tidak sadarkan diri selama itu, nasibnya berakhir buruk," Amanda menghela napas.
"Berikan tabung dada, lalu bawa dia ke CT. Kita akan tangani wanita ini dari sana." Aku menatap wanita itu sembari mengatur napas.
Baru saja aku akan melangkah masuk ke ruang rehat para dokter dan tiba-tiba saja ponselku berdenting. Tanda sebuah pesan mengisyaratkan agar aku kembali ke IGD. Benar saja, beberapa detik kemudian kudengar namaku dipanggil untuk keadaan darurat. Satu lagi ambulance stretcher masuk dengan cepat. Tapi langkahku terhenti kala melihat sosok yang mereka bawa masuk. Bagas tergeletak tak sadarkan diri, sementara ibunya setengah berlari tepat di belakang para petugas medis seraya menggandeng tangan mungil Medina yang matanya basah.
"Dokter Rei, kenapa malah bengong?" Resti menepuk bahuku agak kencang.
"Eh," Kedua mataku masih tertuju pada Bagas yang sudah dibawa masuk ke dalam ruang tindakan lima. Entah apa ini ada kaitannya dengan gertakan Anthony ketika aku menolak tawarannya tadi. Medina memang terlihat baik-baik saja, tapi apa yang terjadi hingga membuat Bagas colapse.
Resti sadar maksudku. Begitu juga Amanda yang dengan sigap mengambil alih tugasku. Bukan karena aku tak ingin merawat Bagas, tapi entah kenapa ada rasa takut. Seluruh tubuhku gemetar melihat lelaki itu tak sadarkan diri. Aku sangat takut bahwa ini adalah salah satu efek dari perbuatanku tempo hari. Aku takut, Bagas tak bisa diselamatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...