"Kamu nggak punya hak apapun atas hidupku, Josh!" seruku dengan dada sesak dan napas tersengal. Mataku menatap lelaki itu dengan pandangan tanpa ampun.
"Tapi, kamu masih butuh istirahat! Kamu ini pasienku, jadi aku berhak atas dirimu!" Josh yang entah sadar atau tidak, balas meneriakiku di depan semua orang.
"Nggak!" jeritku.
Jenna menarikku pergi dari hadapan Josh. Ia setengah memelukku, menggiringku ke pintu keluar. "Tenangkan dirimu, Rei," bisiknya sambil terus mendekapku.
"Aku benci dia," kataku berusaha menangkan diri. Tubuhku terhuyung karena kepalaku yang tiba-tiba berdenyut dan pandanganku sedikit kabur.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Jenna yang sepertinya menyesal karena telah membantuku mengurus segala hal yang berhubungan dengan keluarnya aku dari rumah sakit ini. Padahal, kondisiku belum sepenuhnya sehat.
"Ya, aku baik-baik aja," ucapku sambil melepaskan tangannya. "Aku akan segera menuju ke kantor Bagas."
"Kamu yakin?" jawab Jenna dengan tatapan penuh cemas ke arahku.
Kepalaku mengangguk, sambil satu tangan menyampirkan tali ransel ke bahu. "Aku akan pergi menggunakan taksi. Terima kasih, Jen," kataku sebelum bergerak beberapa langkah meninggalkan Jenna yang masih berdiri mematung, menatapku menjauh.
Taksi berwarna putih melintas ke arahku. Dengan satu gerakan tangan, aku membuatnya berhenti tepat di hadapanku dan menghilang di dalamnya.
"Selamat malam, Miss. Kemana saya harus mengantar Anda?" tanya si sopir taksi dengan suaranya yang berat karena nikotin yang menumpuk sejak bertahun-tahun terdengar sopan dan ramah.
"Uhm ...." Tiba-tiba saja aku bimbang. Apakah aku harus menemui Bagas di kantornya atau menantinya saja di rumah. Aku bukanlah tipe orang yang suka membawa hal-hal pribadi ke ranah umum, seperti membicarakan keberlangsungan pernikahanku dan Bagas di kantornya.
Aku memejamkan mata, mengusap belakang leherku perlahan dan menarik napas panjang. Sudut mataku mengeluarkan setitik air yang entah dari mana asalnya. Aku terlalu sering menangis sejak beberapa jam lalu. Dan aku benci itu.
"Apakah Anda tahu kafe yang bisa membuatku sedikit tenang malam ini?" tanyaku pada si sopir taksi yang menatapku cemas dari pantulan kaca di dekat puncak kepalanya.
"Oh, Anda butuh hiburan? Tapi, maafkan saya, Anda terlihat baru saja keluar dari rumah sakit. Apakah tidak sebaiknya saya antar Anda pulang ke rumah?" tawarnya.
Bibirku melengkung sambil menggelengkan kepala. "Bisa tolong antarkan saya ke kafe manapun yang menurut Anda nyaman?" tanyaku lagi.
"Baiklah, saya akan antar Anda ke Knock On Wood," katanya yang kemudian sudah menginjak pedal gas perlahan, membawaku melaju ke suatu tempat yang menurutnya nyaman.
Lampu-lampu kota berkerlap-kerlip memenuhi ruang mataku. Tumpukan salju masih terlihat menggunung di beberapa sudut jalanan. Pohon-pohon yang tanpa daun itu pun terlihat memutih seperti tertutup kapas raksasa. Tak banyak kendaraan yang melintas saat itu sehingga tak butuh waktu lama, aku tiba di sebuah kafe dengan neon sign besar membentuk huruf berwarna biru, Knock On Wood.
"Thanks," kataku sambil menyodorkan beberapa lembaran dollar pada si sopir baik hati. Ia tersenyum padaku dan menganggukkan kepalanya.
"Berhati-hatilah, Miss. Semoga malammu menyenangkan!" katanya sebelum perlahan menghilang dari pandanganku, setelah aku keluar dari taksinya yang meninggalkan aroma lemon segar di hidungku. Berbeda dengan taksi lain yang seringnya menguarkan aroma nikotin bahkan sisa ganja yang menyesakkan dada.
Sesaat, aku berdiri terbengong-bengong hanya untuk sekadar melihat betapa ramainya Knock On Wood malam itu. Para pengunjung lain sudah mulai memadati area beerhouse yang entah sejak kapan mereka berada di sana. Menurutku, belum ada tanda-tanda mereka akan meninggalkan tempat ini dalam waktu dekat. Aku menarik napas panjang. Entah apa definisi nyaman bagi si sopir taksi tadi. Bukannya aku menyesal karena telah melemparkan pilihan padanya untuk mengantarku ke kafe manapun yang ia tahu. Tapi tempat ini terlalu riuh. Seandainya saja aku bukan dokter. Seandainya saja aku pemilik tempat ini, mungkin ceritanya akan berbeda. Tentu saja aku akan suka dengan pemandangan seperti ini—kalau boleh setiap hari. Tapi tidak dengan kondisiku yang seperti sekarang. Melihatnya saja aku sudah lelah sekali.
Aku duduk di salah satu high stool kosong yang ada di beerhouse. Menatap setiap orang yang tengah bercengkerama dengan minuman di gelas masing-masing. Mataku terhenti pada seseorang yang sedang sibuk, tak jauh dari hadapanku. Wajahnya terlihat lelah, tapi tangannya terus cekatan bekerja. Wajah yang terlihat sangat kukenal.
"Anda mau minum apa, Miss?" tanyanya dengan kepala menunduk mengambil sesuatu di bawah yang entah apa itu, aku tak tahu.
"A—Al—do?"
***
Update dua chapter dulu aja ya, soalnya saya harus update juga cerita terbaru saya A Wok To Remember yang bakalan update tiap hari.
Dibaca juga yaa ... ceritanya Raelyn & Enzo ga kalah seru lho sama Reinayya & Bagas :D
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...