Langit kelabu mendominasi pemandangan di balik jendela dapur pagi itu. Aku yakin, tinggal menunggu waktunya saja sampai akhirnya salju turun mengawali musim dingin dan menandai berakhirnya musim gugur.
Beruntung, hari ini adalah hari dimana akhirnya aku bisa sejenak istirahat dari sibuknya pekerjaanku sebagai seorang dokter. Kuhela napas panjang dan sekali lagi mengerling menatap awan putih yang berarak di angkasa. Pandangan mataku berikutnya beredar ke sekitar area dapur dan baru kusadari Bagas baru saja menutup pintu kulkas membawa sebotol susu ke meja makan. Bagas yang sekarang sudah bisa berjalan kembali berkat kaki prostetik yang ia dapatkan sejak sehari pasca operasinya itu pun sempat menatapku sekilas. Tak ada kata, hanya semburat senyum simpul dari wajahnya yang menurutku masih sangat dingin, hanya saja tak sedingin sebelumnya.
Meski begitu, Bagas tak pernah sadar betapa gestur sederhana itu mengalirkan perasaan hangat di sekujur tubuhku yang hampir membeku, karena tak terbiasa dengan iklim seperti ini. Dia benar-benar membuatku tak berdaya dan hanya bisa tersipu-sipu dibuatnya.
"Selamat pagi, Rei!" sapa Ibu yang tiba-tiba saja tergesa menuju satu-satunya panci besar yang berada di atas kompor, membuyarkan lamunanku.
"Selamat pagi, Bu," balasku pelan sambil menikmati aroma harum soto ayam yang menguar saat Ibu membuka tutup panci itu. "Wah, soto ayam!"
Ibu tersenyum sambil mengeluarkan potongan besar ayam dari dalam panci itu untuk diletakkan ke wadah lain. "Pagi ini Ibu sengaja bikin soto ayam kesukaannya Medina," katanya, "kamu juga suka soto ayam, Rei?"
"Iya, Bu. Pasti soto ayam buatan Ibu rasanya lezat. Aromanya aja selezat ini!" kataku seraya mengikuti langkah Ibu menuju meja makan.
"Alhamdulillah, ternyata selera kalian nggak jauh berbeda ya! Bagas juga suka soto ayam, makanya kemarin Ibu sempatkan untuk berbelanja ke pecinan sama Medina," jelasnya sambil menyuwir daging ayam yang membuat liurku semakin menetes.
Aku menarik kursi persis di sebelah Bagas yang asyik membaca koran. Mau tak mau, mataku kembali terfokus padanya. Ah, bagaimana mungkin aku bisa bosan memandangi lelaki itu. Meskipun ia hanya mengenakan kaus lengan panjang berwarna putih polos, Bagas tampak setingkat lebih segar ketimbang Bagas yang sebelum-sebelumnya. Rambutnya yang setengah basah terlihat lebih gelap warnanya, juga berantakan di puncak kepalanya. Dada Bagas yang masih terlihat bidang, memberiku akses penuh untuk puas memandangi lekuk maskulinnya. Dan entah apa yang membuatku akhirnya berpikiran untuk sengaja memilih duduk tepat di sebelahnya, dan tak terhindarkan oleh hidungku untuk menikmati aroma sedap yang satunya lagi. Aroma sabun cair dan sampo yang dipakai lelaki itu saat mandi tadi.
"Padahal itu sabun dan sampo yang sama dengan yang aku pakai sehari-hari," batinku, "tapi kok baunya beda ya kalau yang pakai si Bagas?"
Ah, sial! Perasaan apa lagi ini?
***
Terima kasih sudah membaca Married by Accident.
Jangan lupa vote dan comment, ya! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...