Chapter 49

4.7K 281 1
                                    

Kedua tanganku hanya bisa memegang kepala dan sedikit menggaruknya, meskipun tak ada yang gatal di sana. Segala peralatan memasak beserta bahannya yang tadi terlihat begitu rapi dan cantik, malah jadi berantakan karena ulahku yang mencoba untuk memasak pagi itu.

"Kakak mau bikin apa sebenarnya?" tanya Medina dengan polosnya. Sedari pagi, dia memang membuntuti dan memperhatikanku dengan kedua matanya yang bulat, sementara Ibu dan Bagas belum bangun karena memang hari itu, matahari sedang tak ingin bersinar. Maklum, jelang musim gugur.

Aku duduk di sebelah Medina dan menatapnya dengan tawa tertahan. "Tadinya Kakak hanya ingin membuatkan sarapan sederhana untuk Kak Bagas dan juga Ibu. Tapi nggak tahu kenapa, Kakak sepertinya malam membuat bencana," kataku terkekeh.

Medina hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia terlihat sedang mengamati semua hal yang berantakan di atas meja dapur itu. "Gimana kalau Kakak membuatkan aku sandwich dulu sama cokelat panas. Aku lapar," katanya berusaha meyakinkanku.

"Sounds good," kataku yang kemudian mengambil empat helai roti tawar, mengoleskan banyak sekali Nutella, kemudian memberi parutan keju di atasnya dan melipatnya. Tak butuh waktu lebih dari lima menit dan kami pun sudah menyantap roti itu dengan riang.

"Enak!" puji Medina sambil mengunyah rotinya dengan mata berbinar.

"Kamu sering makan roti seperti ini ya?" tanyaku.

"Iya dan Kak Bagas suka banget roti kayak gini. Aku sama Kak Bagas bisa menghabiskan dua bungkus roti tawar sekali makan," katanya sambil terbahak.

Kedua alisku terangkat. "Wow, kalian keren!"

Lagi-lagi Medina tertawa. "Sepertinya kita harus membuatkan Kak Bagas roti juga, Kak!" celetuknya.

"Ide bagus!" kataku yang segera mengambil beberapa helai roti lagi.

"Lho kalian kok sudah sibuk di sini? Kalian bangun jam berapa?" tanya Ibu yang tiba-tiba muncul sambil mendorong kursi roda Bagas.

"Medina bantuin Kak Rei masak, Bu, tapi nggak jadi soalnya Kak Rei nggak bisa masak!" Medina menahan tawa dengan menutup mulut menggunakan kedua tangannya yang mungil dan menggemaskan.

"Ya, Medina kok buka rahasia sih?" protesku yang membuat gadis kecil itu kian tergelak.

Sekilas aku menangkap tatapan mata Bagas yang tertuju padaku. Aku merasa bahwa dia sedang dalam kondisi yang kurang bagus. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kusut, matanya sayu dan sedikit memerah. "Bagas, kamu kenapa?" tanyaku yang buru-buru mendekatinya.

Bagas malah memberi tanda agar aku tak mendekatinya. "Aku nggak apa-apa. Lanjutkan saja aktivitas kalian." Ia memutar ban kursi rodanya menggunakan kedua tangan, lalu bergerak menuju halaman belakang.

"Maafkan Bagas, ya Rei. Pagi ini dia merasa agak sedikit nyeri di luka bekas operasinya. Dan Ibu juga nggak tahu kenapa dia sepertinya ingin marah," jelas Ibu muram.

Aku terdiam. Lagi-lagi Bagas berada di situasi yang tak bisa ia kendalikan sendiri. Entah dengan cara apalagi aku bisa mengubah dinginnya sikap Bagas itu. Aku hanya mengangguk pada Ibu dan tak tahu lagi bagaimana cara bersikap di dalam rumah ini.

"Bu, Rei mohon ijin ke rumah sakit ya!" kataku pamit.

"Lho, kamu kan lagi libur, Rei?" Ibu bingung.

"Sepertinya Rei nggak bisa jauh dari rumah sakit, Bu," jawabku tersenyum dan segera melesat ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan menghilang di balik pintu. Hanya ini satu-satunya cara agar emosi Bagas tidak semakin parah, sekaligus cara agar suasana hatiku tidak ikut kacau sepertinya.

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang