Chapter 45

4.9K 288 0
                                    

Kepalaku terasa sedikit berat pagi itu. Segelas kopi hangat berada di genggamanku ketika aku berjalan melewati meja Jenna.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya cemas.

Kedua mataku mengerjap dan aku pun tersenyum sembari mengangguk pasti. "Ada apa?"

Sesaat Jenna menatapku, tetapi kemudian dia kembali ke mejanya. Mengambil sesuatu di atasnya. Sebuah tas ransel berwarna hitam. "Ini milik pasienmu, Taylor. Aku menemukan sesuatu yang berharga di dalamnya. Mungkin kamu bisa membantuku memberikan ini pada Samantha," katanya.

Aku meletakkan gelas kopi di tanganku ke atas meja Jenna dan menerima tas dari tangannya. Aku membuka tas itu perlahan dan terkesiap ketika menemukan sebuah kotak beledu berwarna biru. Jantungku berdetak kencang. Kotak itu tak kubuka dan aku kembali memasukkan benda itu ke dalam tas, kemudian berjalan pergi meninggalkan Jenna menuju ruang perawatan Taylor.

Dugaanku benar, Samantha ada di sana. Aku mengetuk pintunya perlahan, kemudian masuk setelah Samantha memutar kepalanya dan tersenyum padaku sebagai isyarat bahwa ia mengijinkanku masuk ke sana.

"Apa kabarmu, Samantha?" tanyaku yang duduk di sebelahnya.

"Buruk," jawabnya dengan mata sembap dan suara serak karena menangis.

Aku menatapnya lekat. Kemudian memberikan tas itu ke tangannya. "Kamu pasti mengenali tas ini. Di dalamnya ada sesuatu yang sangat berharga."

Samantha menerima tas itu dengan bingung dan sesekali menatapku. Tetapi, tangannya merogoh tas itu dan menemukan benda yang kumaksud. Samantha membuka kotak itu dengan air mata berlinang. Sebuah cincin berlian yang begitu cantik dan indah. "For my wife, Samantha," bacanya ketika melihat tulisan terukir di bagian dalam cincin itu.

Seluruh tubuh Samantha bergetar. Ia menangis sembari menggenggam tangan Taylor erat. "Taylor, bangunlah. Aku siap menikah denganmu," ucapnya lirih.

Tiba-tiba terjadi sesuatu di luar dugaanku. Monitor di sisi kanan Taylor menunjukkan bahwa denyut jantungnya berhenti. Aku tergesa memeriksanya dan melakukan CPR, setelah sesaat menekan tombol di dinding yang tak lama kemudian membuat telinga berdengung karena bunyinya yang nyaring, disertai dengan kalimat code blue.

Beberapa perawat berlari masuk membantuku, termasuk Shia. Ia menggantikanku melakukan CPR. Mataku tak lepas dari monitor yang merekam kondisi organ vital Taylor.

"Taylor!" jerit Samantha yang dipaksa keluar oleh perawat lain.

"Tahan kompresi," kataku.

Shia berhenti dan kembali memeriksa denyut nadi Taylor. "Tak ada denyut."

"Tachometer sinus. Dia mengalami hipotensi," kataku melakukan diagnosa. "Amp Epi, dopamine maksimal, vaso maksimal!" pintaku.

Shia kembali melakukan CPR.

"Tak ada pilihan. Kamu malah membuatnya berada dalam kondisi pressors," kataku sambil terus memantau bedside monitor. Tak ada kemajuan apapun. Shia berhenti melakukannya. Denyut Taylor begitu lemah.

Samantha menangis tepat di sebelahku. Kedua tangannya saling menggenggam di depan dada. Mulutnya tak henti berdoa. Aku tak tahu dia sehancur apa saat itu dan parahnya, mengapa aku malah memikirkan Bagas. Entah mengapa otakku malah berimajinasi, bagaimana bila hal ini terjadi pada Bagas. Apakah aku akan semenderita Samantha atau aku malah berbahagia karena akhirnya lepas dari segala bentuk hukuman tak tertulis ini.

Shia dan dua orang perawat itu pergi meninggalkanku dan Samantha bersama Taylor yang semakin melemah. Sekali lagi, aku memantau kondisinya melalui monitor. Aku menarik napas panjang, sesaat sebelum kedua mataku tertuju pada Samantha yang sudah tak keruan.

"Otak Taylor sudah terlalu lama tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Dan terlalu lama tak mendapat oksigen berarti ...," kalimatku terhenti, tenggorokanku tercekat ketika kupandangi wajah Samantha yang terhenyak.


***


Terima kasih sudah membaca Married by Accident.

Jangan lupa vote dan comment, ya! :)

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang