Chapter 32

5K 294 1
                                    

Ma, hari ini Rei menikah. Sedih rasanya Mama nggak ada di hari paling bersejarah dalam hidup Rei ini. Meskipun pernikahan ini sama sekali nggak pernah ada dalam kepala Rei, tapi ini semua harus Rei lakukan demi menebus semua kesalahan Rei.

Rei yakin Mama ada di sini sekarang, menatap Rei bahagia. Doakan Rei selalu ya, Ma, agar perjalanan hidup yang sudah Rei pilih ini adalah jalan terbaik yang telah disiapkan Tuhan untuk Rei. Meski Rei belum kenal siapa suami Rei, meski Rei benci sikap dinginnya yang seperti kulkas, tapi Rei yakin ini adalah keputusan paling tepat untuk menyelamatkan semuanya.

Oh iya, Ma. Kalau Mama berkenan, tolong kasih tahu Kak Jordy ya, jangan marah lagi sama Rei. Beruntung dia mau datang di acara hari ini dan menjadi wali nikah Rei dengan Bagas. Harusnya sih, Papa tapi kan Papa nggak tahu kalau Rei mau nikah. Lagipula Papa juga tidak lulus syarat sebagai wali Rei hehehe

"Kamu cantik banget!" pekik Amanda yang tiba-tiba menyerbu masuk ke dalam kamarku tanpa permisi.

Gadis itu memelukku yang hampir saja tersedak karena kedua tangannya melingkari leherku. Spontan, pulpen yang tadi di tanganku terlempar ke atas meja.

"Kalem, Man, kalem!" kataku kesal sambil melipat kertas, memasukkannya ke dalam amplop sebelum membiarkan benda itu bersemayam di dalam laci bersama amplop lainnya.

Amanda hanya bisa tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia menatapku lekat seolah aku ini boneka barbie raksasa yang siap dimasukkan ke dalam museum kuno untuk diawetkan. Sesekali jemarinya menyentuh luka yang telah tertutup samar oleh makeup yang dipoles oleh tukang rias bernama Ibu Sri. Tukang rias andalan Amanda.

Amanda memelukku. "Aku nggak pernah mengira kalau kamu bakalan nikah secepat ini!" Suara Amanda tenggelam tertahan di bahuku.

Aku terbahak di sela lehernya yang jenjang dan beraroma bunga segar. Ya, itu adalah momen paling aneh di antara aku dan Amanda. Dia adalah satu-satunya gadis yang hampir tak pernah kulihat air matanya. Gadis mandiri yang selalu kuat menerima apapun kondisi hidupnya. Dan sekarang, ia menangis karena aku menikah. Konyol.

"Kok kamu ketawa sih?" Amanda melepaskanku, kemudian menatapku bingung. Kedua tangannya masih ada di lenganku, mencengkeramku erat.

"Jadi, kamu menangis karena merasa kalah?" tanyaku sekenanya.

Dalam waktu sepersekian detik, Amanda terdiam. Ia seperti sedang mencoba mencerna kata-kataku.

"Kenapa cewek bego kayak kamu bisa jadi dokter sih?!" berangnya.

"Lho, kok gitu? Apa aku salah? Kalau memang aku salah, lalu kenapa kamu menangis?" tanyaku menahan tawa.

"Aku menangis karena nggak seharusnya cewek baik kayak kamu menikah dengan cara seperti ini, Rei!" tandasnya yang kemudian kembali memelukku dan menangis lagi.

"Hei, bukankah memang pada akhirnya aku tetap akan menikah bagaimana pun caranya?" tanyaku heran. Masih tak mengerti dengan sikap Amanda.

"Iya, tapi maksudku bukan dengan married by accident kayak gini juga!" protes Amanda menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan jari lentiknya yang selalu membuatku iri.

"Mungkin memang ini jalan terbaik buat aku menurut Tuhan. Semua sudah diatur, Man. Otak dan hatiku memang berada di dalam raga ini sekarang, tetapi semuanya dikontrol oleh Sang Pengatur Semesta. Takdirku seperti ini. Bukankah jodoh, hidup, dan mati semuanya ada di tangan Tuhan?" jelasku sok bijak.

Amanda menatapku sendu. "Ya, kamu selalu hebat. Entah kenapa dibalik sikap anehmu itu justru tersimpan petuah bijak ala-ala Dumbledore!" kata Amanda yang kemudian terkekeh.

"Sialan!" umpatku sambil menahan tawa.

"Reinayya!" teriak seseorang dari luar.

Aku dan Amanda terkesiap saling tatap dengan ekspresi tegang.

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang