Chapter 19

6.8K 458 11
                                    

"Apakah ini sakit?" tanyaku kepada seorang anak kecil yang terjatuh dari sepedanya dan mengeluh tak bisa menggerakan tangannya.

Gadis kecil itu menggeleng pelan. Ibunya berdiri di samping tempat tidur dengan raut cemas.

Aku tersenyum dan meletakkan tangan gadis itu perlahan di sisi tubuhnya. "Tangan kamu hanya mengalami trauma ringan, tidak ada yang patah. Besok pagi baru boleh pulang ya, karena kamu masih harus menjalani beberapa tes lanjutan," jelasku dengan senyum mengembang kepada gadis kecil berkuncir kuda itu. ia masih mengenakan jaket berwarna pink dengan rajutan berbentuk Little Pony di saku depannya.

"Terima kasih, Dokter Rei," ucap ibu gadis itu sambil mengusap kepala anaknya.

Kepalaku mengangguk cepat dan beringsut keluar ruangan sambil melepaskan sarung tangan dan melemparnya ke dalam tempat sampah khusus. Tiba-tiba seseorang menabrak bahu kananku dari belakang. "Aduh!"

"Siapa yang suruh kamu bekerja hari ini? Aku membawamu ke rumah sakit untuk beristirahat, bukannya bekerja dan merawat orang sakit!" omel Amanda.

"Aku baik-baik aja, Amanda. Lagipula hari ini banyak pasien yang harus kutangani," jelasku.

"Ikut aku!" pinta Amanda dengan ekspresi wajah yang tak bisa kumengerti, sambil mencengkeram lenganku, menyeretku masuk ke dalam ruangan rehat dokter.

"Kamu kenapa sih? Polisi sudah memberi kabar? Brian berhasil ditangkap?" protesku yang bingung sekaligus kesal. Cengkeraman tangan Amanda cukup membuatku ngilu. Tapi setidaknya, jika memang dia bisa memberikan jawaban atas pertanyaanku tadi, maka aku akan sangat lega. Amanda memang akhirnya menelepon pihak kepolisian dan mereka menemukan bukti, Brian membobol pintu rumah hingga akhirnya kabur melalui jendela kamarku. Namun, belum ada lagi kabar terbaru sejak saat itu. Aku pun tak tahu di mana keberadaan Brian yang misterius.

"Ya, itu kabar baik untukmu. Polisi akhirnya menemukan jejak Brian dan dia harus kembali merasakan dinginnya penjara. Tapi bukan itu yang perlu kamu pikirkan sekarang," Amanda melepaskan tanganku tapi dengan cepat, tangannya meraih remote TV. Ia memencet tombol merah dan tak lama, tampak seorang pembaca berita sedang menyampaikan sebuah informasi yang membuat jantungku berdegup kencang.

"No ...," ucapku lirih sambil menggelengkan kepala.

"Aldo dalam masalah besar, Rei," lanjut Amanda menatapku cemas.

"Bukan, bukan Aldo yang dalam masalah besar, tapi Bagas. Dialah yang dalam masalah besar karena berani menuntut balik Aldo. Aku harus berbuat sesuatu." Kepalaku berdenyut. Entah mengapa justru di hari pertama aku kembali bekerja, malah harus menerima kabar pahit seperti ini.

Dan beberapa saat kemudian, kami dikejutkan oleh Prita yang tiba-tiba membuka pintu. "Dokter Rei, ada yang mencarimu," katanya dengan kepala terjulur dan tangan menahan beban pintu.

"Siapa?" Aku menatap Amanda bingung.

Prita hanya mengangkat bahunya tanda tak tahu. "Aku sudah coba menanyakan identitasnya, tapi mereka menolak dan bersikeras ingin bertemu denganmu."

Aku baru saja akan melangkah tapi Amanda mencegahnya.

"It getting worse," bisiknya.

"I know," jawabku sambil menarik napas panjang dan keluar dari ruangan itu untuk menemui sang tamu misterius.

Aku melihat ada empat orang lelaki dengan pakaian serbahitam dan rambut klimis sedang menungguku di lobby. Tanganku mengepal tanda siaga, berjaga dari apapun yang mungkin terjadi. Baik atau buruk.

"Dokter Reinayya."

Salah satu dari laki-laki itu tersenyum dan berjalan mendekatiku. Entah bagaimana ia tahu namaku, padahal aku tak merasa pernah bertemu dengannya.

"Siapa kalian? Ada perlu apa denganku?" tanyaku dengan suara tegas.

Amanda yang sejak tadi menemaniku satu langkah di belakang, menarik tanganku agar tidak terlalu mendekat pada mereka.

"Kami datang kesini dengan tujuan baik. Kami hanya ingin mengajakmu bertemu dengan Mister Anthony," jelas lelaki dengan senyum kharismatik itu, namun tatapannya tajam.

"Siapa Anthony?" bisik Amanda.

"Papanya Aldo," jawabku lirih.

"Lebih baik kamu bergegas karena Mister Anthony tidak bisa menunggu terlalu lama," ujar lelaki itu lagi sambil mengayunkan tangannya, seolah ingin menggiringku keluar.

"Tolong bilang sama juraganmu itu ya, aku disini kerja dan punya urusan yang jauh lebih penting daripada berurusan dengannya!" kataku sengit.

Lelaki itu tampak tidak terkejut sama sekali dengan sikapku. "Jadi, kamu lebih mengedepankan urusanmu ya, daripada keselamatan lelaki satu kaki yang hidup miskin dengan ibu dan adiknya itu?"

Jantungku berdegup kencang. Benar firasatku, bahwa ini semua adalah masih tentang peristiwa yang menimpa Bagas sekeluarga.

"Kalau memang kamu sudah tidak peduli lagi pada mereka, maka itu akan jadi jauh lebih mudah bagi kami," katanya lagi sembari memutar tubuh bersiap pergi dari hadapanku.


***


Terima kasih sudah membaca Married by Accident.

Jangan lupa vote dan comment, ya! :)

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang