Chapter 52

5K 326 4
                                    

"Reinayya."

Ibu mengetuk pintu kamarku, tapi aku tak menggubrisnya karena masih sibuk mengemasi barangku.

"Nak, dengarkan Ibu sebentar saja," katanya dari balik pintu dengan suara lembut.

Aku tak peduli. Kujejalkan semua barang, kututup retsletingnya dan meraih jaketku di belakang pintu. Kubuka pintu itu hingga berdebam. Ibu menatapku bingung karena sedang berusaha menyeret koper besar yang pertama kali kubawa ke tempat ini beberapa minggu lalu.

"Reinayya, mau kemana kamu, Nak?" Ibu menahanku yang berurai air mata dan acak-acakan.

"Rei mau pulang, Bu. Rei mau kembali ke kehidupan Rei dulu, karena ternyata pilihan Rei salah selama ini. Pengorbanan Rei selama ini ternyata sia-sia," isakku dengan napas sesak penuh emosi.

"Nak, maafkan Bagas. Ibu tahu seperti apa dia dan ini bukan dia. Bagas hanya perlu waktu untuk menerima keadaannya sekarang," kata Ibu berusaha meyakinkanku.

"Maaf, Bu, tapi Rei juga punya batas kesabaran!" kataku yang kemudian melangkah melewati Ibu begitu saja, tetapi giliran Bagas yang menghadangku kali ini. Ia ada tepat di hadapanku. Menatapku dengan ekspresi yang tak pernah bisa kumengerti.

"Maafkan aku yang sudah menghancurkan hidupmu. Rumah ini beserta isinya akan segera kualihkan untuk menjadi milikmu. Juga dengan uang di rekeningku. Aku hanya butuh untuk membeli tiket pulang kembali ke Indonesia. Aku nggak akan pernah lagi mencampuri hidupmu dan tolong lepaskan aku dari semua rasa bersalahku, karena nyatanya, aku sudah tak ada nilainya lagi untukmu," ucapku lirih.

"Kakak Rei jangan pergi," Medina menangis, memegangi tanganku.

Aku hanya tersenyum padanya dan buru-buru melangkah pergi, tetapi tangan Bagas menangkap tanganku. Ia memegangku begitu kuat dan erat. "Kumohon jangan pergi," katanya.

Aku tertawa sinis. "Sandiwara apalagi ini, Gas? Aku sudah muak. Aku sudah cukup kamu sakiti dengan semua sikap dingin dan anehmu itu," kataku lagi.

"Kita bicara baik-baik," tawarnya yang masih menggenggam tanganku.

"Rei, bicaralah baik-baik dengan Bagas. Apapun nanti keputusan kalian, Ibu yakin itu yang terbaik, tapi jangan seperti ini," sela Ibu sambil merangkul bahu Medina yang menangis.

Batinku goyah melihat gadis itu sesenggukan karenaku. Aku memang baru mengenalnya, tapi dia yang beberapa minggu ini sudah memberi banyak arti dalam setiap hariku. Aku tak pantas membuatnya menangis, karena harus berpisah dengan cara seperti ini.

Aku tak menjawab apapun, hanya menarik tanganku kasar dari genggaman Bagas. Berjalan masuk ke dalam kamar, menunggu lelaki itu masuk dan menutup pintunya.

Bagas terdiam sesaat setelah mengunci pintu kamar kami yang selalu dipenuhi kesunyian karena hubungan kami yang memang aneh. "Maafkan aku," katanya.

Aku duduk di atas tempat tidur dengan tangan saling bertaut dan kepala menunduk menahan tangis.

"Maafkan aku yang nggak pernah bisa mengerti perasaanmu." Kursi roda Bagas bergerak mendekatiku, hingga jarak kami hanya tinggal sejengkal saja.

"Aku harus lakuin apalagi buat kamu? Semua yang aku pikir bisa membuatmu bahagia, ternyata nggak pernah ada artinya buat kamu," isakku hingga tubuhku berguncang.

Tangan Bagas menyentuh tanganku. Hangat, kokoh, dan menenangkan rasanya. Ia malah seolah seperti sedang menjadikanku pegangannya. Dan benar saja, ia mengangkat tubuhnya untuk berdiri di atas satu kaki dan bergeser agar bisa duduk tepat di sebelahku saat itu.

"Aku tahu kamu lelah. Aku sangat tahu." Bagas menyentuh pipiku dengan jemarinya. "Maafkan aku yang masih belum bisa menguasai diri karena keadaanku sekarang."

Kutatap mata Bagas lekat. Ada keteduhan di sana yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Mata itu mampu menenangkan batinku seketika. Suhu tubuhnya yang menjalariku melalui genggaman tangannya mampu melenyapkan emosiku yang tadi meluap tak karuan. Suaranya yang berat tetapi lembut di telingaku itu, sanggup meredakan debaran jantungku yang abnormal karena amarah.

"Aku putus asa, Gas, nggak tahu harus ..."

Tiba-tiba bibirku terkunci, karena bibir Bagas yang tipis dan ternyata lembut itu mendarat begitu saja di sana. Tepat di bibirku yang tadinya ingin meluapkan segala kelu dan kesah. Bibir Bagas setengah basah dan entah mengapa aku menikmatinya. Desah hangat napasnya yang berpendar di sekitar wajahku, memaksaku memejamkan mata dan menikmati setiap detik momen itu. Tangan Bagas menggenggam tanganku semakin erat. Aroma tubuhnya yang selalu menjadi salah satu aroma paling menyenangkan di rumah ini pun menguar menari-nari di sekelilingku. Perutku terasa geli akan perasaan yang bahkan tak bisa kugambarkan seperti apa rasanya. Perlahan, bibir Bagas melumat bibirku penuh perasaan, tanpa tergesa berbalut napsu. Bukan, bukan seperti itu. Ia begitu memperlakukanku dengan hormat melalui ciuman ini. Ciuman hangat yang diberikan oleh suamiku untuk pertama kalinya dan sukses membuatku bertekuk lutut padanya di malam musim gugur yang dingin ini.


***


Terima kasih sudah membaca Married by Accident.

Jangan lupa vote dan comment, ya! :)

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang