Logo apel khas berwarna hitam dengan latar belakang putih muncul saat ponselku kembali menyala, setelah kusambungkan dengan listrik. Butuh waktu kurang dari satu menit hingga benda itu benar-benar menyala dan tersambung. Baru saja aku akan memindai sidik jari di tombol bulat yang ada di bagian bawah, ponsel itu bergetar tak keruan karena menerima terlalu banyak pemberitahuan. Whatsapp, Line, dan SMS berlomba memenuhi layar utama yang masih dalam keadaan terkunci.
Jantungku berdegup kencang saat mengetahui nama yang tertera di sana. Aldo. Lelaki yang setahun terakhir ini menjalin hubungan denganku. Jika ia sudah seperti ini, berarti aku sedang dalam masalah besar.
Baru saja aku akan membuka salah satu pesannya, tiba-tiba layar ponsel itu telah berubah menampilkan deretan angka dengan nama Aldo di sana. Cepat-cepat kusentuh ikon berwarna hijau dengan tergagap. "Ha ..."
"Aku pikir kamu sudah mati," kata Aldo dengan nada paling menyebalkan yang pernah kudengar.
"Maaf, Al, aku harus menangani korban kecelakaan dan aku lupa mengisi bat ..."
"Aku nggak peduli dengan alasanmu, yang aku pedulikan saat ini adalah kamu harus muncul dari pintu rumah sakit untuk menemuiku di tempat parkir. Aku akan membawamu bertemu dengan kedua orangtuaku." Dan Aldo mengakhiri panggilannya begitu saja.
Aku hanya bisa terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu satu persatu. Aldo tak pernah sekalipun melibatkanku dalam urusan keluarganya. Selama ini, aku memang tak pernah ingin tahu karena menganggap semua urusan keluarga masih sangat jauh untuk dibicarakan. Aku dan Aldo masih ingin saling mengenal satu sama lain. Apalagi, menurutku Aldo adalah seorang laki-laki yang unik. Tak bisa sembarangan diperlakukan. Banyak orang, termasuk Amanda yang mengatakan bahwa Aldo itu gila dan aku lebih gila karena mau jadi kekasihnya. Ya, mungkin saja. Tapi aku tak peduli, karena sampai detik ini aku masih bisa merasakan kenyamanan ketika berada di dekatnya, sedingin dan semenyebalkan apapun dia.
Niatku untuk menghubungi Kak Jordy sirna. Begitu juga dengan rasa lapar dan sakit di perutku yang seolah teralihkan oleh kepanikan. Aku hanya bisa memikirkan bagaimana caranya bersiap secepat kilat. Kutarik tas yang ada di dalam loker dan meletakkannya di atas meja. Satu persatu kukeluarkan berbagai macam benda dari dalam sana.
Sambil mengatur napas yang memburu, aku melepas jas putih yang kukenakan tepat sebelum membasuh wajah dengan sabun seadanya dan memolesnya hanya dengan bedak plus lip tint. Kubuka ikatan rambutku dengan satu tangan dan kuurai begitu saja tanpa perlu usaha untuk terlihat natural. Kusemprotkan Annick Goutal's Eau d'Hadrie di sekujur tubuh sebagai ganti bahwa aku belum mandi sore ini. Aroma citrus blend, lemon sisilia, grapefruit, dan cypress seketika menguar segar. Kuganti sneakers yang kukenakan dengan sepasang sepatu heels setinggi lima sentimeter berwarna pink pastel yang sengaja kusimpan di loker untuk saat-saat tak terduga seperti sekarang.
Dan ponselku kembali berdering.
"Iya aku turun," jawabku yang segera menghambur keluar ruangan, berusaha agar tidak terpeleset selama berlari.
"Lho, Rei?" Amanda yang baru keluar melewati pintu lift menatapku bingung.
"Man, aku pulang dulu ya! Urgent," kataku dan langkahku kembali terhenti sebelum Amanda sempat berucap.
"Tapi, Rei—" Tak ada kesempatan bagi Amanda untuk bicara denganku lagi, karena aku telah menghilang dari pandangannya. Dan aku benar-benar tak peduli lagi. Satu-satunya fokusku sekarang hanyalah cara menghadapi Aldo dan murkanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomantizmKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...