Aku hanya bisa berdiri di ambang pintu kamar perawatan Bagas dengan mulut terbungkam. Ibu sedang duduk di sisi tempat tidur Bagas yang tak sadarkan diri, karena kondisi jantungnya yang semakin memburuk. Sementara Medina, tidur di sofa yang ada di sudut ruangan. Entah apalagi yang harus kukatakan pada Ibu, semenjak kalimatku beberapa waktu lalu sebelum aku dan Bagas menikah. Kalimat tentang donor jantung dari seorang pasien yang cocok dengan Bagas. Namun, kenyataannya keluarga pasien itu tidak mengijinkan prosedur itu dilanjutkan padahal pasien telah terdaftar sebagai donor, jauh sebelum ia mengembuskan napas terakhirnya.
Tak heran bila setelah kejadian itu, Bagas semakin membenciku. Dia awalnya setuju kami menikah karena adanya donor jantung itu untuknya. Dan aku yang akan menanggung semua biaya operasi itu. Namun, sekarang ia malah tergolek lemah tak berdaya dan aku hanya bisa menatapnya nanar tanpa bisa melakukan apapun.
"Reinayya," panggil Ibu yang ternyata sudah menyadari kehadiranku di sana. Aku yang tadinya melamun, sontak sedikit terkejut karena panggilannya yang lembut, tapi cukup menyadarkanku.
"Iya, Bu," jawabku yang kemudian melangkah masuk ke dalam kamar perawatan Bagas. Bunyi bip berulang pada bedside monitor menambah kesan drama. Aku tak pernah suka bunyi mesin itu. Sungguh, aku membencinya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?" Ibu menggenggam tanganku yang sudah duduk tepat di sampingnya, menatap Bagas dengan pandangan bingung tak tentu arah.
"Entah apalagi yang harus Rei lakukan, Bu. Rei sudah cukup mengecewakan Bagas, karena gagal mendapatkan donor jantung untuknya. Maafkan Rei, Bu," ucapku dengan kepala menunduk dan air mata perlahan menetes di pipi.
Ibu mengeratkan genggaman tangannya di tanganku. Kemudian menarikku ke dalam pelukannya yang hangat. Tangisku meledak. Bukan karena Ibu menyakitiku, tetapi lebih karena perasaan rindu akan hangatnya pelukan seorang ibu yang telah lama tak kurasakan lagi sejak Mama meninggal. Aku rindu Mama yang selalu bisa menguatkanku dengan pelukannya, ketika aku berada di tengah kebingungan seperti saat ini. Beruntung, Tuhan memberiku kesempatan untuk berbagi kehangatan seorang ibu dengan Bagas yang serta merta membenciku dari ubun-ubun hingga ujung kaki.
"Kamu sudah melakukan segala yang terbaik untuk Bagas dan kami. Namun, semua tetap ada di dalam kuasa Allah SWT. Kamu boleh berencana, kamu boleh berusaha, tapi tetap Allah SWT yang menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kalau pun semua rencanamu gagal, kalau pun semua inginmu tak terwujud, pasti Allah SWT akan menggantinya dengan sesuatu yang lain, yang jauh lebih indah dari dugaanmu. Allah SWT akan memberi apa yang kamu butuh, bukan apa yang kamu inginkan, Nak," bisik Ibu tepat di telingaku.
Hatiku rasanya ringan sekali, setelah mendengar nasihat malaikat tanpa sayap itu. Beruntungnya Bagas memiliki ibu berhati lembut sepertinya, dan beruntungnya aku didampingi beliau dalam situasi seperti ini. Entah apa yang akan terjadi bila Bagas memiliki seorang ibu ala sinetron zaman sekarang. Mungkin aku sudah menceburkan diri ke dalam dinginnya sungai bila itu memang benar-benar terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...