Chapter 39

4.7K 293 2
                                    

Aku meletakkan kepala di atas meja, tepat di sebelah cangkir espresso buatan Jenna yang sudah lama dingin karena kutinggalkan. Lelah, padahal baru satu pasien yang kutangani hari ini. Jetlag ini benar-benar menyiksaku.

"Hai, Anak Baru!" sapa Josh yang baru saja mendorong pintu Winter Blossom.

Aku hanya tersenyum simpul dan berusaha menyadarkan diri agar tidak tertidur di hadapan dokter yang berhasil membuatku kagum itu. Lelaki itu berdiri membelakangiku, sibuk dengan mesin pembuat kopi. Entah apa yang sedang diraciknya.

"Harus kuakui bahwa kamu ternyata lebih cerdas dari dugaanku," katanya seraya memutar tubuh ke arahku.

"Hah?" Aku bengong.

Dia terkekeh melihat ekspresiku. "Penggunaan saline untuk kasus seperti tadi adalah suatu prosedur eksperimental yang bahkan belum disetujui oleh IRB. Entah bagaimana tindakan itu bisa terlintas di dalam pikiranmu," katanya yang kemudian duduk tepat berhadapan denganku.

"Jika kamu tahu bahwa itu adalah prosedur eksperimental dan belum disetujui oleh IRB, mengapa tadi kamu sepakat denganku, bahkan melakukan semuanya?" tanyaku heran.

"Karena kamu Putri Clark Hawkins," ia terbahak tapi terlihat menyebalkan di mataku.

"Aku serius," kataku kesal.

"Ah, sudahlah. Yang terpenting, kita tidak membunuh siapa pun hari ini. Pria itu berhasil kita selamatkan," oceh Josh sambil memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. Ia seperti manusia berkepribadian ganda bagiku. Awalnya kupikir ia seorang yang tak jauh berbeda dengan Bagas. Dingin, cuek, dan angkuh, ternyata malah sebaliknya. Ramah, cerdas, dan tegas. "Joshua Evans." Ia mengulurkan tangan ke arahku.

"Reinayya Hawkins," kataku menyambutnya.

"Salam kenal, Miss Hawkins atau aku harus memanggilmu Rei saja?"

"Lebih baik Rei saja. Aku tidak ingin dibayang-bayangi sosok ayahku jika sedang bekerja," jawabku dengan kedua tanganku bergerak memegang cangkir yang tak lagi hangat. Entah mengapa mata Josh tertuju pada jemariku. Bukan, matanya tertuju pada cincin pernikahanku lebih tepatnya.

"Kamu sudah menikah?" tanyanya.

"Iya. Belum genap seminggu," jawabku yang entah mengapa dalam sekejap dirundung perasan tak enak hati.

"Lagi bahagia dong jadi pengantin baru," celetuknya lebih santai sambil beranjak dari kursi, beralih kembali ke mesin kopinya. Mengambil cangkir, lalu mengisinya dengan cairan hitam pekat.

"Kamu tahu jenis kopi yang bisa menghilangkan jetlag nggak?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.

Josh yang sudah kembali duduk di hadapanku itu mengerutkan keningnya. "Aku pikir, espresso yang kamu minum itu satu-satunya pilihan yang tepat," katanya. "Jadi, kamu belum berbulan madu ya kalau mengingat pernikahanmu yang belum genap seminggu, tetapi sudah harus bekerja seperti hari ini," tambahnya.

Tuhan, lelaki ini kenapa mendadak berubah menyebalkan dengan berusaha mengorek kehidupan pribadiku.

Alunan nada Perfect milik Ed Sheeran menyelamatkanku. Harusnya, telepon itu berasal dari Amanda atau Kak Jordy. Aku merogoh saku celanaku dan melihat nomor yang tertera di layar ponsel. Nomor telepon rumah disediakan Anthony untukku setibanya di kota ini.

"Assalamualaikum," sapaku sesaat setelah menyentuh halus ikon berwarna hijau. Dan suara di seberang sana membuat hatiku mencelos hingga terasa seolah berhenti berdetak. Suara Ibu yang terisak penuh panik mengucap nama Bagas berulang kali tanpa kalimat lain dan itu cukup untuk membuatku sadar bahwa Bagas kembali collapse.

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang