Hari Sabtu pagi, di sekitar penghujung bulan, cuaca di luar semakin tidak ramah. Aku terlalu kedinginan dan terlalu malas untuk sekadar mengajak Ibu dan Medina jalan-jalan ataupun melakukan hal lain yang membutuhkan usaha agak lebih dari biasanya. Beruntung, aku libur hari ini sehingga bisa sejenak melupakan kesibukanku di rumah sakit. Namun sayang, Bagas tak di rumah. Sejak kemarin sore, ia telah terbang ke Kanada bersama si gadis genit, Caitlyn. Awalnya, aku ingin sekali berteriak di hadapannya, mengatakan bahwa aku tak suka dengan si pirang itu. Tapi, aku tak bisa begitu saja melakukan hal-hal tak pantas, apalagi ini demi karir dan pekerjaan Bagas. Bagaimana pun juga, pekerjaan itulah yang membuat Bagas akhirnya bisa kembali bersemangat
Suara bel membuyarkan lamunanku. Kulirik jam dinding. Hari masih terlalu pagi. Siapa yang sepagi ini sudah rela menerjang tebalnya salju untuk bertamu ke rumah orang.
Baru saja aku akan beranjak dari dudukku, Ibu sudah terlebih dulu muncul dari arah dapur untuk membukakan pintu. Samar, aku mendengar suara wanita yang disusul suara teriakan gembira milik Medina.
Kumiringkan tubuhku yang terhalang pilar untuk melihat sosok tamu misterius itu.
"Selamat pagi, Reinayya!" sapa Liz yang lehernya masih terlilit syal tebal seputih salju dan mantel panjang berwarna khaki. Di sampingnya, Matthew berdiri sudah bergandengan tangan dengan Medina. Mereka bahkan sudah berbagi cokelat.
Tubuhku menegang. Aku bahkan diguyur seember air penuh es ketika melihat mereka berdua berdiri di sana. Namun ada yang aneh! Aku pikir, mereka datang bersama Papa. Tapi ternyata tidak. Hanya mereka berdua.
"Pagi, Liz," sapaku yang memilih untuk tidak menyapa Matthew. Bukan karena aku juga membencinya, tapi bocah itu sudah berlari bersama Medina ke halaman belakang untuk bermain salju.
"Maafkan kami bila mengejutkanmu."
"Ada yang bisa kubantu?" aku berdiri bukan untuk menyambutnya tapi lebih ke posisi menantangnya. Jujur, aku tak bisa menyembunyikan amarahku pada wanita itu. Bagiku, dia adalah wanita yang merebut Papa dari Mama, aku dan Kak Jordy. Terlepas dari apapun itu alasannya, dia akan selalu salah di mataku.
"Kami hanya kebetulan lewat di sini dan ingin mampir. Matthew dan Medina kan teman satu sekolah, tampaknya mereka cukup akrab sehingga ...."
Baiklah, aku sudah tahu ke mana arah pembicaraannya. Dan menurutku, itu semua tak penting lagi untuk kudengarkan. Terlalu menghabiskan waktu dan merusak suasana hatiku.
"Bu, Rei ke kamar dulu ya. Nanti kalau Ibu butuh bantuan, panggil aja nggak apa-apa," kataku beringsut masuk ke dalam kamar. Tapi, belum sempat aku menutup pintunya, Medina dan Matthew sudah muncul tak jauh dariku.
"Kakak, bolehkah kami main di dalam kamar sama Kakak?" tanya Medina dengan polos.
Aku ragu untuk menjawab. Bagaimana pun juga, ada Matthew di sana. Tapi aku sadar, bocah itu tak tahu apa-apa soal perseteruan keluarga kami yang mendarah daging. Dia hanyalah seorang anak kecil tak berdosa dan tak berhak menerima tuntutan apapun dariku.
"Boleh saja," kataku sambil mendorong pintu agar terbuka lebih lebar, sehingga mereka bisa berlari masuk, menghambur sambil tertawa-tawa.
Medina kerap menjadikan kamarku dan Bagas ini arena bermain, karena menurutnya pemandangan di kamar ini yang paling indah. Bagaimana tidak, ada sebuah dinding yang sepenuhnya kaca sehingga ia bisa melihat indahnya salju saat turun di sana. Dan alasan lainnya adalah ia sering menemukan cokelat di sini.
"Rei, Ibu dan Liz mau ke chinatown sebentar ya. Ibu boleh titip Medina dan Matthew?" suara Ibu dari balik pintu.
Aku membukanya dan mengangguk cepat. "Ada apa di chinatown, Bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...