Chapter 24

6.4K 440 16
                                    

"Dokter Rei?" Resti memanggilku lirih.

Sebenarnya aku mendengar, tapi tak menggubrisnya. Mataku tetap tertuju pada Amanda yang sedang melakukan CPR pada dada Bagas. Aku bergeming, terus menatap Amanda yang tengah berjuang menyelamatkan Bagas. Sementara ibu dan adiknya tengah berpelukan dan terisak menunggu keajaiban yang sama sepertiku. Hingga akhirnya, aku melihat Amanda menghentikan kompresi dan sedang berbicara dengan Prita. Ia keluar dari ruangan, menemui ibu Bagas yang disusul dengan ucapan syukur dari beliau. Ia memeluk Amanda dengan senyum penuh kelegaan. Amanda menatapku dari tempatnya.

"Reinayya!" Resti kali ini memanggil namaku dengan sangat kesal.

Aku menengok, menatapnya tanpa ekspresi.

"Pasienmu korban terinjak pasca ledakan di gedung bioskop tadi tidak tertolong. Kabar gembiranya, dia terdaftar sebagai salah satu pendonor organ," jelas Resti.

"Hah?" Aku tertegun. "Ba ... bagaimana bisa? Tadi dia masih ..." Pikiranku kacau, tetapi entah dari mana datangnya satu pikiran gila di benakku saat itu. Dalam waktu sepersekian detik aku mampu mencerna kata-kata Resti. Dengan cepat aku bergegas ke dalam ruang tindakan Bagas meninggalkan Resti yang dengan lirih mengumpatku.

"Tekanan darah stabil, denyut jantung stabil" ujar Prita keluar dari ruangan itu, setelah ibu Bagas dan Medina masuk.

Sungguh aku tak bisa menyembunyikan raut bahagia ketika mendengar ucapan Prita. "Terima kasih karena telah menolongnya," ucapku pada Prita dan juga Amanda.

Amanda tersenyum. "Semoga dia cukup kuat untuk bertahan. Kerja jantungnya sudah sangat buruk. Ia membutuhkan transplantasi secepatnya."

Ide itu kembali menari-nari di benakku. Dari balik jendela aku melihat ibu Bagas dan Medina masih dilanda kecemasan. "Tunggu sebentar!" kataku yang kemudian beranjak menemui mereka berdua.

"Bu," panggilku lembut.

Wanita setengah baya itu menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Ya, Dokter? Ada apa? Bagas baik-baik saja kan?" suaranya sarat akan kecemasan khas seorang ibu. Ia meremas tangan Bagas yang masih belum membuka matanya.

"Bagas saat ini dalam kondisi stabil, Bu. Tenang saja," kataku.

"Alhamdulillah." Wanita itu mengucap syukur dalam haru sembari memeluk Medina.

"Namun, Bagas tetap membutuhkan transplantasi jantung. Kebetulan, saat ini ada ketersediaan organ tersebut, tetapi saya belum bisa memastikan apakah cocok dengan Bagas," jelasku.

"Lalu, Dok?"

"Saya ingin memohon ijin dari Ibu untuk melakukan beberapa tes. Apabila ada kecocokan, maka kami akan segera melakukan transplantasi." Aku menghela napas. "Prosedur ini harusnya teramat panjang, tetapi saya akan mengusahakan agar Bagas bisa segera dioperasi apabila ada kecocokan."

Wanita itu menatapku seperti ada ledakan kebahagiaan yang membuncah di hatinya. "Silakan, Dok! Lakukan apapun asal Bagas bisa tertolong." Ia meremas tanganku penuh harap.

Aku pun tersenyum. Mengangguk dan keluar dari ruangan itu bergegas menemui Resti. "Res, aku ingin memastikan bahwa donor korban di mall tadi sesuai dengan Bagas."

Resti menatapku tak percaya. "Kamu mabuk?"

Amanda yang tadinya sedang sibuk membuat laporan di salah satu komputer, tak jauh dari tempat kami pun berdiri. Ia mendekatiku. "Jangan bilang, kalau kamu bermaksud memberikan jantung itu pada Bagas," tebaknya.

Aku hanya bisa menatap Amanda dalam diam. Tapi, aku menjawab iya dalam hatiku sendiri. Tampaknya Amanda mengerti, karena ia menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana bisa, Rei? Bagas baru saja terdaftar menjadi salah satu penerima donor organ. Dia harus menunggu giliran!"

"Persetan dengan giliran!" kataku yang bergegas pergi dari hadapannya.

"Reinayya!" Amanda memanggilku tapi aku tak menggubrisnya.

Satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini adalah menguji kecocokan donor organ itu dengan Bagas dan berharap semua sesuai dengan harapanku. Apapun masalah di balik ini semua, akan kuselesaikan nanti. Hanya itu rencanaku saat ini.

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang