Wanita itu seperti sedang berusaha mengontrol emosi diri. Dengan terbata, ia melanjutkan kalimatku lirih. "Meninggal?"
Mau tak mau, aku mengangguk. "Ya. Benar," jawabku. "Jantungnya masih berdetak, tetapi ..." kuhela napas sejenak, "tetapi, tak ada harapan."
Samantha lagi-lagi membekap mulutnya. Menahan diri untuk tidak menjerit karena kabar yang begitu menyesakkan dariku. "Saya turut berduka," ucapku.
Tangis Samantha pecah. Ia setengah berlari memeluk tubuh Taylor yang masih hidup karena bantuan alat medis itu. Samantha mencium pipi Taylor di antara isak tangisnya yang memilukan. Ia menggenggam tangan kekasihnya itu erat, mengusapnya, berharap adanya suatu keajaiban. Namun, kali ini keajaiban itu sedang tak berpihak padanya.
Dari kejauhan, aku melihat Jenna sedang berjalan ke arahku bersama dengan Patrick, pria yang kutahu bekerja di sebuah lembaga donor organ. Jenna tersenyum padaku, meremas tanganku sekilas sebelum dia masuk ke dalam ruangan untuk menemui Samantha. Jantungku berdegup kencang. Aliran darahku terasa menderas. Aku gugup.
"Cindy, tolong masukkan Taylor ke dalam daftar donasi organ. Untuk berjaga-jaga, pastikan dia tetap menggunakan ventilator," kataku kepada salah satu perawat yang kutemui setelah keluar dari ruangan Taylor dan Samantha.
Entah kali ini apakah akan ada satu mukjizat untukku dan Bagas. Pagi tadi, aku memperoleh kabar bahwa Taylor merupakan salah satu pasien yang telah mendaftarkan diri sebagai pendonor organ. Patrick, bahkan sempat menemuiku. Entah bagaimana caranya, hampir seluruh penjuru rumah sakit tahu bahwa suamiku, Bagas, sedang dalam kondisi tidak stabil dan membutuhkan donor jantung secepatnya.
"Rei," Jenna tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku. Ia menepuk bahuku pelan. Aku memutar tubuh dengan was-was karena tatapan Jenna tak sesuai dengan harapanku.
"Dia tidak setuju ya?" tanyaku berusaha mengendalikan emosi.
Jenna terdiam. Ia meraih tanganku, ingin menguatkanku saat itu.
"Aku hanya ingin menolong suamiku. Itu saja," kataku dengan suara bergetar. "Thanks, Jen," kataku yang kemudian pergi meninggalkannya. Sekilas, aku melihat Patrick keluar dari ruangan Taylor bersama Samantha. Wanita itu masih terisak, tetapi ia terlihat jauh lebih tegar dari sebelumnya. Ingin sekali aku berteriak padanya, bahwa Taylor bisa menyelamatkan Bagas. Ingin sekali aku berteriak padanya agar jangan egois. Tapi, lidahku teramat kelu.
Jenna kembali mendekatiku. Ia menggandeng tanganku mengajakku masuk ke dalam lift yang kebetulan pintunya terbuka. Kulihat ia menekan tombol angka lima. Kamar perawatan Bagas. Aku hanya diam tak sanggup berkata apapun. Otakku sibuk mencari solusi, bagaimana cara aku bisa menyelamatkan Bagas. Aku tak ingin semua usahaku sia-sia. Aku tak ingin pelarianku hingga ke tempat ini menjadi tak ada artinya. Pintu lift terbuka dan aku berjalan keluar bersama Jenna yang juga terdiam. Aku memilih berhenti di ruang tunggu lantai itu, duduk di sofa. Aku belum menemukan cara untuk bicara dengan Ibu dan Bagas.
"Rei, ada baiknya kamu masuk menemui Bagas dan Samantha," ujar Jenna yang berdiri di hadapanku.
"Hah?" aku bingung.
"Tampaknya, Patrick masih ingin membantumu." Jenna tersenyum sambil menunjuk ke arah Patrick, Samantha, dan Papa. Ya, papaku berada di antara mereka dan terlibat pembicaraan serius sedang berjalan ke arah ruang perawatan Bagas.
Tanpa menunggu lagi, aku beranjak dari duduk dan bergegas mengikuti mereka. Langkahku terhenti di depan pintu yang sedikit terbuka. Aku mendengar Ibu menangis lirih.
"Usianya baru 29 tahun. Tanpa jantung yang baru, dia akan meninggal," kata Papa yang kudengar dari balik pintu. "Tunanganmu, orang yang kamu cintai dan mencintaimu, bisa menyelamatkan hidup lelaki ini," tambahnya.
Aku membekap mulut, mengucap untaian doa penuh harap agar Samantha mau membuka hatinya menolong Bagas.
"Kamu mungkin kehilangan Taylor, tetapi kamu masih bisa melihatnya hidup di dalam hatimu dan juga secercah harapan untuk lelaki ini beserta keluarganya. Taylor, pasti akan sangat bangga padamu karena telah mengijinkannya untuk tetap berbuat mulia bahkan ketika nyawanya pun telah tiada," ucap Papa.
Tak ada suara lagi setelah itu karena mereka memutuskan untuk keluar ruangan. Samantha memergokiku di sana. Menangis kehilangan harapan.
"Apakah dia kekasihmu?" tanyanya menahan isak.
Aku menggelengkan kepalaku pelan. "Bukan. Dia bukan kekasihku," jawabku. "Dia suamiku."
Sesaat, Samantha terdiam. Ia menatapku lekat.
"Maafkan aku yang tak bisa menyelamatkan nyawa Taylor. Namun, aku sudah berusaha sejak awal tanpa berharap apapun dari semua yang telah kulakukan padanya. Aku pun tak tahu bahwa dia ada dalam daftar pendonor. Aku hanya tahu bahwa, aku wajib menolongnya semampuku. Maafkan aku," isakku.
Dengan satu gerakan yang membuatku terkejut, Samantha memelukku erat. "Terima kasih karena telah memberiku kesempatan bertemu dengan Taylor untuk terakhir kalinya. Aku sadar, aku takkan pernah bertemu dengannya lagi siang itu, jika kamu tidak berada di sana untuk menyelamatkannya hingga akhirnya ia pergi." Samantha melepaskan pelukannya. "Aku setuju mengizinkan transplantasi jantung Taylor kepada suamimu. Semoga kalian merasakan cinta yang sama seperti cinta kami selama ini," ucap Samantha menatapku penuh arti.
Ingin sekali rasanya kubersujud di kaki Samantha sebagai bentuk terimakasihku padanya. Namun, aku hanya kelu dan tak bisa melakukan apapun selain memeluknya haru sembari tersenyum ke arah Papa yang berdiri tak jauh dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Married by Accident
RomanceKisah tentang seorang dokter muda bernama Reinayya yang dihadapkan pada satu kenyataan tragis. Gadis itu harus mengganti segala kerusakan, sekaligus bertanggungjawab untuk biaya pengobatan Bagas sekeluarga, korban kecelakaan yang disebabkan karena u...