Chapter 3

13.5K 679 14
                                    

Akhirnya aku menyerah, setelah menangani sepuluh orang di UGD. Tubuhku terlalu lemas dan sakit di perutku terus menyerang seolah memaksaku untuk tunduk begitu saja. Perih sekaligus nyeri bertubi mendesakku untuk beristirahat. Entah kenapa disminore kali ini terasa begitu menyiksa. Beruntung, suasana hatiku masih bisa dikendalikan. Jika tidak, bisa habis aku hari ini.

Perhatianku sempat tertuju pada suara TV yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Suara sang pembawa berita yang mengucapkan satu nama membuat tubuhku menegang. Kepalaku yang tadinya sedikit pusing dan pandangan berkunang-kunang, seketika sirna. Mataku terpaku pada siaran berita itu.

"... hari ini, mantan narapidana tindak pembunuhan sekaligus anak konglomerat asal Jakarta, Brian Cakrawangsa telah dibebaskan bersyarat setelah menjalani masa hukuman selama dua tahun penjara ..."

Kalimat itu terus terngiang di telingaku hingga membuat jantungku seolah berhenti berdetak dan paru-paruku sesak kehilangan asupan oksigennya. Kakiku lemas dan aku sedikit terhuyung, bersandar di salah satu pilar UGD yang masih saja riuh dengan teriakan, erangan, dan tangisan.

"Rei, kamu baik-baik saja?" Amanda yang entah datangnya dari mana seketika menangkap tubuhku yang hampir merosot jatuh. "Hei, hei, kamu kenapa?"

Aku menutup wajah dengan kedua tanganku yang mendadak terasa dingin. Aku bahkan bisa merasakan bibirku gemetar. Tidak, tidak hanya bibir tapi juga seluruh tubuhku.

"Bri ... an," ucapku terbata sambil menunjuk ke arah TV yang masih menyala, meski suaranya sesekali hilang tenggelam dalam hiruk pikuk UGD.

Amanda mengangkat kepalanya, menatap TV itu, dan berusaha menajamkan telinganya. Kedua tangannya meremas lenganku yang masih terkulai. "Matikan TV-nya!" pinta Amanda pada salah satu perawat yang duduk di balik meja. Ia kemudian memapahku menjauh, masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka lebar setelah dua orang keluar dari sana.

"Kita makan dulu ya ke kantin," katanya masih setengah memelukku.

Aku tak menjawab. Pikiranku masih sibuk terseret kembali pada kejadian dua tahun silam. Kejadian saat aku masih terlalu mabuk kepayang oleh pesona Brian.

"Rei, sudahlah. Berhenti memikirkan semua kejadian yang malah membuatmu semakin sakit dan sedih itu," kata Amanda penuh perhatian.

Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Seulas senyum kulayangkan untuk sahabat yang telah kukenal sejak SMA itu. Ya, sudah selama itu aku mengenal Amanda. Berbagai macam suka duka telah kami lewati bersama demi mendapatkan gelar sebagai seorang dokter. Hanya saja, nasib Amanda tak seburuk aku. Ia masih memiliki keluarga yang lengkap dan bahagia di tempat asalnya.

Pintu lift terbuka. Amanda membawaku untuk duduk di salah satu kursi kantin rumah sakit. Ruangan yang sepintas mirip aula besar dengan satu sisi berjajar rak dan peralatan masak itu memang lebih ramai dari biasanya. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menenangkan diri di sana.

Amanda meninggalkanku sejenak setelah memastikan aku telah duduk dengan benar. Aku meraba saku jas putihku, menarik keluar ponsel yang ternyata dalam kondisi mati. Entah sejak kapan, aku tak tahu. Seingatku, benda itu baik-baik saja saat kusambar dari atas meja sebelum keluar dari rumah. Aku meletakkan benda itu ke atas meja dengan sedikit frustasi.

"Nih, minum dulu biar kamu agak tenang sedikit," kata Amanda menyodorkan segelas teh hangat untukku, kemudian duduk di sebelahku.

"Terima kasih," jawabku sambil meneguk teh itu. Sensasi hangat menggelenyar, melewati tenggorokan hingga dadaku. Efeknya bak kilat. Dalam waktu singkat, aku sudah merasa jauh lebih baik. Entah kenapa aku merasa harus segera menghubungi Kak Jordy, kakakku satu-satunya, sekaligus keluarga yang kumiliki saat ini. Perasaanku tak tenang jika Brian kembali berkeliaran. Kuminum habis sisa teh di gelas.

"Lho, Rei, mau kemana?" tanya Amanda bingung melihatku beranjak dan meninggalkannya begitu saja di kursi kantin, setelah menyambar ponsel sekaligus meletakkan gelas di meja dengan tergesa.

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang