Prolog

33.4K 2K 41
                                    

Gadis itu menghempaskan dirinya ke atas kasur. Hari ini, kuliahnya berjalan dengan jadwal yang super padat. Ini baru semester ketiga. Ternyata jadi mahasiswi itu tak semudah yang ia kira saat SMA. Tugas dimana-mana, jadwal tugas kelompok yang menguras banyak waktu karena perdebatan ini itu, belum lagi presentasi, dan ujian dadakan yang terkadang bisa jadi sangat mengesalkan. Proposal ini dan itu, revisi lagi dan lagi, belum lagi tugas yang harus ditulis dengan tulisan tangan sendiri.

Menjadi anak kuliahan ternyata tak sekeren yang dulu ia bayangkan. Bikin stress.

Setelah ia melepaskan sepatu dan tas, ia pun berbaring sambil melepaskan nafas dengan panjang lewat mulutnya. Dalam hati ia menghitung berapa lamakah pacarnya tidak menghubunginya? Punya pacar kayak dia, rasanya sama kayak orang jomblo.

Gadis itu memejamkan kedua matanya, berusaha melepas penat. "Satu, dua, hm... satu bulan dua minggu."

Drrrrtttt Drrrrrttt

"Lumayan lama dari beberapa bulan yang lalu." Gumamnya, tersenyum kecil.

Dalam hati, Gracia mencoba maklum. Pacarnya Shani, memang selalu pergi tiba-tiba, datang tiba-tiba persis seperti hantu. Gracia tak pernah tahu apa alasannya, tapi ia juga tidak peduli. Malah dia berharap, Shani memang sedang bosan pada dirinya lalu segera memutuskan hubungan dengannya.

Drrrtttt Drrrtttt

"Ih, ganggu aja."

Gracia segera bangkit untuk merogoh tasnya. "Yah, kenapa gak selamanya aja ngilangnya, sih?" Begitu ucapnya saat ia tahu caller ID yang menghubunginya.

"Hai sayang?" Tumben nelpon. Tumben manggil sayang. Tumben terdengar ceria.

"Hm, hai. Kenapa? Lagi bahagia banget ya?"

"Iya. Kirimannya udah sampe?"

"Kiriman apa?"

"Oh, belum berarti. Yaudah tunggu aja. Gue baru pulang ke rumah."

Gracia menguap, tampak tak begitu tertarik dengan pembicaraan ini. "Habis hibernasi dari mana?"

Shani terkekeh kecil. "Kenapa? Kangen ya?"

Dih, najis. "Gak. Gak kok." Sama sekali.

"Pokoknya kalau kirimannya udah sampe, kasih tau. Jangan sampai pikun sama suratnya ntar, harus dateng."

Dateng? "Kemana?"

Tuuuttt Tuuuttt Tuuutt

Selalu semena-mena. Main matiin telfon seenaknya. Begitu tuh, Shani kayak nganggep semua tuh biasa aja. Dia kayak bersikap seolah dia gak pernah kehilangan kontak dengan Gracia selama ini. Selama satu bulan dua minggu yang lengang dan bebas, bagi Gracia tentunya.

"Kiriman apaan sih? Gak jelas nih anak."

Gracia lalu menghubungi seseorang, namanya Bunga. Bukan bunga mawar atau melati. Dia cuma Bunga, Kamboja. Bunga Kamboja. Dan dia adalah sahabatnya sejak pertama masuk universitas. Gracia juga ketawa kok pas tahu nama lengkapnya.

"Woi, Bung! Lo jadi main gak sih ke rumah gue? Gue tunggu dari tadi tau! Buru ke sini.. Gue lagi kesepian nih, di rumah sendirian."

***

Setelah dibukakan pintu, Bunga berjalan dan langsung duduk di atas sofa. Gracia berdecak melihat kelakuannya. "Duduk aja Gre, gak usah malu-malu, anggap rumah sendiri."

Gracia memutar bola mata.

"Kak Shania mana?" Tanya Bunga.

"Duh, lagi jalan sama mantan pacarnya, ngapain lagi?"

"Mantan pacar?" Tanya Bunga geli.

"Ya siapa lagi? Statusnya sekarang kan udah jadi suami. Berarti mantan pacar dong?" Gracia dengan teori logis tapi aneh miliknya.

"Oke oke gue paham. Lah, lo kok bilang ke gue lo kesepian sih? Emang pacar lo sendiri kemana?"

"Ke Jonggol. Kayak gak tau aja sih, kebiasaannya Kak Shani itu gimana. Capek gue jadi pacarnya, pengen minta putus." Kata Gracia sembari ikut berjalan dan duduk di hadapannya.

Bunga tertawa. "Yakin lo gak bakal nyesel? Kak Shani itu udah cantik, tajir, keren, tinggi, udah punya bisnis sendiri juga, kan? Dia udah bisa mandiri dengan hidupnya. Apa yang kurang coba? Masa depan lo pasti gak bakal suram kalau terus jadi pacarnya, kan?"

Gracia melotot ngeri. "Merinding gue lo ngomong gitu tentang hubungan gue sama Kak Shani. Yang ada itu, masa depan gue bakal diatur terus sama dia."

"Malah jadi terencana, kan?"

"Lo gila ya? Gue tuh gak mau sejauh itu sama dia."

"Tapi kalian kan udah tiga tahun. Kenapa sih? Dia jahatin lo ya? Atau lo yang cuma mau main-main?"

"Dia tuh gak kayak yang lo bayangin. Lo sama sekali gak tau soal Kak Shani. Serem deh, gue pacaran sama dia. Gue tuh pengen putus dari dia."

"Yaudah putusin aja, apa repotnya cuma bilang doang?"

"Dari dulu tuh pengen bilang kayak gitu, tapi.." Bunga menaikkan alisnya heran ketika melihat Gracia menautkan kedua tangannya, gugup.

"Tapi apa?"

Gracia menggigit bibir bawahnya. "Tapi gue gak berani." Bunga tergelak.

"Kenapa gak berani? Pengecut banget sih!"

"Gue takut dia marah. Ngamuk ntar." Gerutu Gracia.

"Emang kalau ngamuk, bisa jadi kayak hulk gitu ya?"

"Gak, gak gitu. Gak gitu juga, sih." Cicitnya.

Mata Bunga melotot lebar. "Oh, maksud lo, dia bakalan mukulin lo? Kok brengsek, ya?" Ucapnya lebih keras.

"Gak, dia gak sampai mukulin gue."

"Terus kenapa? Apa coba masalahnya?"

Gracia menggeleng lemah. Agak ragu dia menyuarakan pikirannya pada sahabatnya. "Dia tuh suka gak ke kontrol. Dia bisa nyakitin dirinya sendiri. Nyokapnya pasti bakal kasih gue peringatan keras. Kalau udah kayak gitu, semua orang dari keluarganya bakalan nyalahin gue, kecuali Okta. Dia bisa ngancem gue macem-macem, Bung. Gue salah ngomong dikit aja, yang menjurus kepada keinginan buat gak punya hubungan sama dia lagi, besoknya, gue lihat anjing peliharaan Kak Shania mati keracunan di luar rumah. Itu semua dia yang lakuin buat ngancem gue supaya gak mutusin dia."

"Kok, Shani jadi psycho gitu, sih? Nakutin banget, serem ih." Tanya Bunga yang bahkan tak sadar jika nama panggilan yang begitu tak disukainya itu baru saja diucapkan lagi oleh Gracia.

"Dia emang psycho!" Geramnya.

"Terus-terus, gimana?"

"Ya makanya itu, gue takut. Gue suka gak berani ngomong banyak kalo sama dia. Gue harus mikir dulu sebelum bertindak kalo dia ada di samping gue. Gue merasa tertekan jadi pacarnya. Dia egois, suka ngatur-ngatur, paling sering jealous sama hal hal yang gak jelas dan posesif banget. Dia tuh kayak punya syndrome obsessive-complex. Dia gak cinta sama gue, dia terobsesi sama gue. Gue mesti gimana coba? Gue gak mau terus jadi bonekanya dia."

"Sampe separah itu ya ternyata? Lo serius Kak Shani beneran kayak gitu? Tapi, dia keliahatan manusia beradab dan baik-baik seperti pada umumnya kok, apalagi dia populer. Gue kayak masih gak percaya deh Kak Shani bisa kayak gitu." Bunga tertawa, hambar. Jenis tawa yang dipaksakan.

"Ambil aja deh, gak papa. Buat lo aja dia. Dia tuh psikopat emang. Ngeri deh pokoknya."

"Tapi, lo kok sampe takut gitu sama dia? Serius lo, Kak Shani beneran gitu sifatnya?"

Gracia mengangguk berkali-kali. "Tolongin gue makanya." Rengeknya.












Tbc

Pacar Shani ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang