Suara air kran yang terjatuh menggema di telinga.
Dyo mendongak, setelah mengusap kedua tangan yang awalnya berlumuran darah. Tidak tau pasti itu darah Nadse atau Elaine, atau bahkan keduanya.
Setelah bersih, Dyo juga membasuh wajahnya untuk menyadarkan diri. Entahlah, pulang dari rumah sakit setelah mengantarkan Nadse dan Elaine, pikirannya yang penuh itu membuatnya menatap datar ke arah cermin di depan dengan wajah linglung.
Ada bayangan seorang lelaki frustasi yang merasa sangat lelah, namun ia tidak bisa memejamkan mata.
Dyo mematikan air kran itu, memastikan kembali pada cermin, ia masih baik-baik saja. Secara fisik, of course. Tapi Dyo tahu Shani pasti sedang mengincarnya.
Bagaimanapun, Dyo tidak bisa pulang ke Bandung. Ia tidak akan tenang berada di sana sementara hatinya merasa sangat gagal dan bersalah kepada Elaine dan Nadse.
Bukankah secara tidak langsung, Dyo-lah yang membuat kedua orang itu menghadapi bahaya yang sengaja mendekat? Pertama, ia yang terlebih dulu menakuti Elaine. Ia tidak tahu dampak dari perbuatan jahilnya akan mengundang cewek itu ke dalam malapetaka yang telah direncanakan oleh Shani. Jika bukan karena ditakuti, Elaine tidak akan mengambil lilin itu sendiri. Harusnya dia yang mengambilkannya.
Juga Nadse, Dyo sadar dialah orang yang menyuruh Nadse dan mendukung cewek itu keluar rumah untuk meminta bantuan pada Viny. Padahal jika posisinya saat itu dibalik, bisa saja dia yang pergi dan mudah melarikan diri dari anjing buas itu karena kakinya yang sehat, tidak seperti Nadse. Tidak akan ada pula darah yang tumpah dan dalam hati ia tidak akan ada secuil pun rasa bersalah yang tertinggal seperti ini.
Atau, rencana Shani saja yang terlalu lancar dan berpengalaman untuk mengelabui.
Sebenarnya, otak Dyo sedang bingung sekarang. Kepalanya mendadak pusing penuh dengan manipulasi.
Ia yang harusnya jadi orang jahat, kini jadi kandidat korban. Maunya Dyo juga tidak begitu. Harusnya dia yang ada di posisi Shani, seseorang yang menekan dan mengancam, bukannya terancam. Apakah ini sebuah karma? Apakah karena ia terlalu banyak membohongi orang lain? Bahkan memanipulasi rekan-rekan kerjasamanya sendiri?
Dyo menggelengkan kepala, ia serius tidak mau menjadi pihak yang kalah.
Baginya ini salah dan ia merasa harus kembali membalikkan situasi. Bagaimanapun caranya.
Ada sebuah tekad di matanya. Meski keraguan terasa nyata mendominasi atmosfer suasana.
Ruang apartemen barunya kini menjadi sesak padahal tempatnya luas sekali.
Apa karena terlalu hening? Apa karena ia yang terlalu gelisah?
At least, meskipun bahaya bisa datang dari mana saja, Dyo tidak mau merasa takut dengan hal itu. Ia akan menghadapi bagaimana Shani, apapun itu. Mengerti kemauannya, dan bertanya-tanya mengapa bisa jatuh cinta kepadanya.
Pengorbanan ini melelahkan, sungguh.
Lihat saja saat ia melemparkan ponsel Nadse dari saku. Menimbulkan bunyi gedebuk di tengah suara sepi. Dyo ingat saat dirinya menghapus segala jejak yang ditinggalkan Shani pada ponsel itu. Pesan gila yang semula dijadikan wallpaper, ringtone mengerikan yang kan berbunyi jika ada yang menghubungi. Selama perjalanan berada di mobil ambulans, renungan Dyo yang terdiam membuahkan hasil yang mengejutkan.
Bagaimana tidak, jika yang Dyo lakukan adalah menghapus semua itu dan mengembalikan semuanya seperti ponsel Nadse sebelumnya, seolah dia tidak ingin ada yang mengetahui kejahatan tersembunyi ini selain dirinya. Bodoh bukan? Dyo melakukan ini bukan karena dia tidak mau melibatkan polisi. Mengadu kepada Ayah Elaine dan meminta perlindungan darinya, Dyo juga tidak mau seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Shani ✔
Fanfiction[COMPLETED] "Gre, she loves you" "Who?" "Kalva Shani Indira. Siapa lagi?" "So.... What? Rasa suka aku udah hilang semenjak aku tahu siapa Kakak yang sebenarnya" ### Menjadi pacar Shani mulanya membuat Gracia hanya merasa muak. Tidak sampai ia tahu j...