Part 51

11.5K 808 214
                                        

Gracia sedang melamun di kamarnya bertepatan saat Shania membuka pintu dan membawakan makanan serta minuman di atas nampan untuknya.

"Gue tau lo shock banget, kita semua juga kaget sama kejadian ini. Tapi berdukanya jangan terlalu berlebihan sampe bikin lo down ya." Ucap Shania sambil menggenggam tangan kanan Gre. "Apa mungkin lo mau kita ke psikolog, psikiater, atau konselor aja gimana? Kalau lo gak mau juga gak apa-apa, gak akan ada yang maksa. Lo bilang aja apa yang lo pengen, nanti gue beliin. Masih gak tertarik? Jarang-jarang loh gue kasih tawaran kayak gini."

Tak mendengar balasan apapun keluar dari mulut adiknya, Shania menghela nafas berat. Sejak terbangun dari pingsannya di rumah Viny beberapa jam yang lalu, Gracia enggan diajak bicara. Shania tau adiknya pasti mengalami trauma setelah melihat secara langsung pemandangan yang naas itu.

Demi adiknya, Shania rela menjadi penghibur yang cerewet. Namun sebanyak apapun ia bicara, Gracia tetap mengabaikannya.

Sampai saat Gre tiba-tiba berkata, "Kak,"

"Ya?"

"Lo liat deh bingkisan itu." Kedua mata Gracia berkaca-kaca saat melanjutkan kalimatnya. "Itu dari Viny buat lo sama gue karena katanya kemaren dia abis pergi kerja ke luar kota. Oleh-oleh dari dia itu gue terima beberapa jam sebelum dia udah gak ada. Gue masih liat dia baik-baik aja tadi. Apa lo pikir ini adil?"

Shania tergagap, "Emm, dia, mungkin keliatan dari luar dia baik-baik aja. Tapi gak ada yang tau kalau bisa aja dia depresi kan? Makanya dia mutusin untuk lakuin itu." Ungkap Shania dengan pelan dan berhati-hati karena ia takut salah bicara. "Gue juga gak ngerti masalahnya apa meski banyak rumor yang beredar, hal itu masih diselidiki kok tentang motifnya dia itu kayak gimana. Kita cuma bisa doain dia sekarang, Gre."

Gracia mendengus keras, membuat Shania mengernyitkan dahi. Tentu saja hanya Gracia yang tau bagaimana Viny bisa berakhir seperti itu. "Harusnya gue udah bisa nebak kalau lo bakal mikir kayak gitu, sama seperti yang lain."

"Maksudnya?"

Gracia buru-buru menyingkap selimutnya. "Tolong anterin gue ke rumah Kak Shani sekarang juga. Tawaran tadi masih berlaku kan?"

***

Shania hanya berpikir jika Gracia mungkin membutuhkan support system selain dirinya dalam keadaannya yang sedang kacau saat ini. Jadi ia biarkan saja ketika mereka sudah sampai di depan rumah Shani dan Gracia menyuruhnya pulang agar bisa bicara berdua saja dengan pacarnya.

"Nanti gue jemput?"

"Liat ntar aja."

"Gre senyum dong, kan mau ketemu pacar."

Gracia memaksakan senyumnya sambil menunggu mobil Shania melaju pergi dari hadapannya.

Kakaknya yang malang, dengan pikiran yang sesederhana itu. Sama sekali tak menaruh curiga terhadap apapun. Bahkan bisa-bisanya masih menggoda Gracia dengan candaan receh seperti tadi.

Mau ketemu pacar katanya? Mau ketemu sama pembunuh mungkin akan menjadi kalimat yang lebih cocok.

Gracia hanya bisa menguatkan hati sebelum menekan bel dan menunggu pintu rumah Shani terbuka. Dengan perasaan yang masih terasa kacau, wajah yang murung serta pikiran yang semrawut, Gre hanya menunduk sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang ia pakai.

Ketika terdengar sebuah suara, Gracia pun mendongak lalu mundur satu langkah ketika Shani menampakkan wajah kagetnya.

"Mimpi apa aku barusan, tumben banget kamu samperin ke rumah kayak gini?" Shani tersenyum lebar. "Ke sini tadi sama siapa? Naik apa? Kenapa gak minta aku jemput aja?" Gracia merasakan tangan Shani mengelus puncak kepalanya.

Pacar Shani ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang