Part 44

12.5K 896 98
                                        

Masih ada harapan.

Setidaknya begitulah yang terus terngiang selama ia dan pikiran linglungnya menjelajah entah sudah kemana atau sampai mana.

Kemudian yang gadis itu tahu, ia berusaha bergerak merangkak dengan berat di kaki kirinya yang hanya dapat ia seret seperti benda parasit yang menempel di tubuhnya menuju tepi ranjang berwarna putih membosankan ini, terduduk di sana lumayan lama sambil mengamati sepupunya yang kelelahan menungguinya hingga tertidur di atas sofa.

Mamanya baru saja pergi dengan membisikkan kata-kata menenangkan, yang sayang sekali sudah tidak mempan bagi Nadse. Ia hanya mendengarkan secara lalu rentetan kalimat yang mudah dikatakan tapi sulit direalisasikan itu. Baginya jika ia harus menyerah pada titik akhir, ia setidaknya harus mengerahkan seluruh tenaga miliknya. Apapun yang tersisa secara fisik maupun batin dan mentalnya.

Itu sebab mengapa diam-diam ia sengaja menarik sendiri infus yang menekan kulit di tangan kanannya. Tersenyum kecil saat melihat darah mengucur. Nadse pikir ia mulai merasa gila dengan euforia aneh ini.

Nadse juga sengaja membuang infus itu. Ia menurunkan kaki kirinya, berusaha berdiri sambil kedua tangan terpaku pada belakang tubuh, menempel tepat di sisi ranjang. Keringat dingin mengucur deras begitu ia tahu dirinya diserbu oleh kegugupan yang menyerang dengan tiba-tiba.

Sebut saja saat ia yakin dan memang melakukan apa yang ada di pikirannya ketika itu, harapannya, tangisannya, masih tersisa meskipun saat ia jatuh di atas lantai. Itulah akibat dari kisah bodohnya yang berpikir ia masih bisa berdiri dengan kakinya yang telah mati rasa.

Sementara Nadse terduduk dengan perasaan tertohok, suara gedebuk itu berhasil membangunkan Okta. Cewek itu pun segera berlari begitu ia sadar diri. Kedua tangannya memegangi lengan Nadse yang masih terdiam, dengan air mata kesedihan yang meluncur di pipinya. Tidak ada lagi raungan, tapi itulah malah yang lebih menakutkan.

"Nad, lo ngapain sih? Kenapa pakai dicopot juga infusnya?" Okta berdecak sambil berusaha membuat Nadse bangkit kembali.

Masih ada harapan kan? Sekecil apapun itu. Meski di setiap harapan, akan selalu ada keputusasaan.

Nadse seperti sengaja menegangkan dirinya hingga membuat Okta sulit memaksa ia yang berada dalam tahap keras kepala. "Nad, berdiri. Jangan kayak gini. Lo ngomong dong, maunya apa? Gue bukan cenayang, gue gak tau kalau lo cuma bisa nangis sambil diem gini. Gue juga sedih Nad. Gue bingung, gue ikut pusing sama keadaan lo. Tapi kita bisa apa?"

Suara lembut Okta membuat Nadse mengerjapkan mata. Baiklah jika baiknya ia bertanya saja.

"Masih ada harapan kan, Ta?"

"Apa?"

"Masih ada harapan kan buat gue bisa ikut kompetisi itu?"

Ah, Okta baru sadar jika Nadse masih merasa sangat menyesal dengan mimpinya yang tertunda. Kemajuan menurut Okta, melihat Nadse yang sudah tidak kesetanan seperti tadi.

Dengan tekad bulatnya, gadis yang sangat tertekan itu memutuskan hal yang baru. "Gue gak mau nyerah. Gue yakin bisa sembuh lebih cepat kalau gue udah punya kemauan." Nadse menggeleng. "Lo gak mau jawab pertanyaan gue, karena lo ragu. Tapi dengan kemungkinan 0,01 % pun, gue bakal tunjukin kalau gue tuh serius gak mau berakhir kayak gini. Gue mau melakukan terapi sekarang juga. Gue gak mau nunggu besok, gue maunya sekarang. Lebih cepat buat gue bisa jalan, itu lebih baik."

Okta seperti merasa enggan untuk menyetujuinya. "Tapi Nad, lo butuh istirahat. Kata dokter juga lo masih harus menyesuaikan diri dengan semuanya, jangan paksain diri lo. Mending nurut aja sih, jangan berontak, kan kita bisa besok aja-"

"Gue maunya sekarang. Titik." Tegas Nadse. "Kalau lo gak bisa nurutin keinginan gue, gue bisa berbuat hal yang lebih gila dari ini. Lo pasti gak bakal mau tau itu."

Pacar Shani ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang