Part 48

10.5K 887 223
                                    

DOR!!!

Naomi melotot lebar. Secepat kilat ia menoleh ke arah seseorang yang baru saja menarik pelatuk pistol lalu kembali menoleh ke arah darah yang semakin jelas tercetak menembus baju berwarna hitam itu, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.

Sedangkan Shani hanya berkedip lambat dua kali.

Lengan kirinya terasa begitu sakit, tapi lebih menyakitkan ketika dia sadar jika dirinya semakin terlihat lemah.

Seperti saat Shani merasa kekuatannya dua kali lebih cepat terkuras untuk bergerak apalagi hanya dengan satu tangan yang terus menekan darah agar tidak semakin menderas. Kini Shani berlutut dan menyumpah atas Dyo yang seharusnya ia bunuh lebih cepat tanpa memikirkan apa yang akan Gracia lakukan jika Dyo mati di tangannya. Apakah Gracia akan menjulukinya sebagai seorang monster lagi? Apakah Gracia akan menyumpahinya sebagai pembunuh berdarah dingin yang kejam lagi? Manusia tidak berhati lagi? Rasanya lebih baik mati daripada harus mendengar kalimat itu keluar dari seseorang yang dicintainya.

Di tempatnya, Dyo menggeram hebat dalam hati. Ini semua salahnya, salah tangannya yang harus gemetar ketika berpikir jika ia merasa harus membunuh orang itu. Target Dyo bukan lengan Shani, melainkan jantung. Harusnya tepat di jantung dia menembakkan pelurunya. Ada apa dengan tembakannya yang meleset? Sengaja atau tidak sengaja, satu detik yang menegangkan tadi adalah satu detik yang tetap akan menghasilkan kemarahan pada dirinya. Karena meleset atau tidaknya tembakan itu, Dyo akan tetap menggeram. Dyo akan tetap marah kepada dirinya sendiri. Dyo tetap akan menyesali obsesinya yang kelewat besar.

Semua ini salah siapa?

Shani yang tidak segera membunuh Dyo, Dyo yang semakin menjadi gila, atau Naomi yang justru menyelamatkan orang gila itu?

Ketika sadar akan kenyataan, Naomi segera berlari menuju Dyo setelah menggoreskan satu dua tusukan yang tak seberapa dalam di kedua kaki Shani. Otaknya berputar cepat. Situasi seperti ini tidak asing dalam dunianya. Dipaksanya Dyo untuk berdiri selama Shani mengaduh dan tumbang di belakang sana.

Dyo sendiri tak bisa berbuat banyak atas hal itu. Ia menurut ketika tangannya diseret oleh Naomi untuk keluar dari tempat yang sejenak bisa menjadi neraka baginya.

"Arrrrghh, keparat!" Dengan menahan sakit Shani terus menatap kepergian dua orang itu. Semakin menjauh mereka, semakin dirinya merasa lemah atas keadaan. Lihat saja tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain memaki. Kedua matanya berkaca-kaca. Kepalanya pening berkunang-kunang. Dingin. Lantai apartemen terasa lebih dingin ketika ia berbaring di atasnya. Tidak ada Gracia. Tidak ada seorang Alva. Tidak ada seorang psycho yang dulu begitu bangga jadi dirinya ketika ia telah memiliki apa yang paling dicintainya di dunia ini. Siapa lagi jika bukan Gracia Avira. Tidak ada dirinya yang kuat, yang ada hanya seorang wanita bernama Shani, meringkuk dengan rasa yang tak bisa dijelaskan.

Keberuntungan sedang bersembunyi darinya, sedang cahaya semakin menjauh pergi.

Kemudian hanya ada gelap dan rasa takut yang menghampiri.

***

Gracia tergugu setelah bangun dari sebuah mimpi buruk.

Jam berapa sekarang? Ia mengambil ponsel untuk mengecek waktu. Tepat pukul 03.45. Masih terlalu dini untuk membuka jendela.

Gracia memegang kepalanya yang berkeringat. Apa yang baru saja dimimpikannya?

Ah, Gracia tidak terlalu ingat tapi yang jelas rasa takut berkumpul dalam dirinya setelah memimpikan hal itu. Seperti dia sedang berada dalam situasi bahaya. Situasi yang menakutkan sekaligus mengecewakan. Dan hatinya begitu sakit hanya dengan mimpi yang tidak begitu jelas ia ingat.

Pacar Shani ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang