Part 25

12.3K 1K 86
                                    

Ah, Gracia benci berbohong. Tapi harus dia akui, dia telah berbohong dengan perasaannya sendiri. Bahkan kepada Shani.

"Jujur aja, lo cinta kan sama Dyo? Makanya sampai sebegitu takut dia terluka, sebegitu takut kehilangan dia, sampai sebegitunya lo selalu bela dia. Hm? Lo selalu bersikap berlebihan kalau itu menyangkut sama dia, iya kan?"

"Ya."

"Aku udah sampai di tahap dimana kalau Dyo pengen aku cinta sama dia, aku bakalan bisa lakuin itu, buat dia."

"Kamu selalu anggap dia berharga."

"Memang dia berharga."

"Terus, gue gak?"

"Tapi dia lebih."

Itu karena dia sedang berada dalam posisi yang sulit. Tidak suka berbohong. Telah terikat janji dan dia juga tak suka menjadi manusia yang ingkar pada apapun yang pernah dikatakannya.

Jadi bingung kan? Harus bagaimana ia mengambil sikap? Apakah berbohong itu lebih baik? Atau tidak menepati janji juga jadi lebih baik? Keduanya bukanlah pilihan yang bagus.

Kini, Gracia sedang terbaring di tempat tidurnya setelah mematikan ponsel supaya tidak ia dengar dering yang mengganggu pikirannya yang tengah berkelana ini.

Apakah ia keterlaluan? Apakah ia terlalu kasar?

Gadis itu kembali merenungi apa yang telah dilakukannya. Tidak tahan dengan posisi berbaring, ia pun terduduk sambil bersandar di tempat tidurnya. Memeluk satu bantal, menggigit kuku ibu jari, lalu menghela nafas berat. Persis sekali sedang merasa bersalah.

"Kemana sih Kak Shania kok gak pulang-pulang?" Rengeknya gemas. Ia butuh seseorang untuk mengeluh. Ia butuh seseorang yang mau mengerti. Ia butuh tempat untuk mengutarakan pertanyaannya tadi. Ia butuh -setidaknya satu- jawaban.

Tak lama kemudian, ia sengaja mengambil laptopnya.

"Ada apa kok ngajak skype mendadak gini sih, tumben. Kamu lagi ada masalah ya Dek?"

Gracia tersenyum melihat abangnya yang sedang mengerjakan sesuatu di atas meja. Dasar sok sibuk. Selalu bertingkah serius. Beda sekali dengan Gracia yang suka bodo amat dan Shania yang santai.

"Apa sih orang cuma kangen juga. Lagi apa Bang?"

Marco membenarkan kacamatanya. "Lagi belajar jadi orang sukses."

Gracia menahan tawa. Tapi setelah itu, ia membenarkan cara duduknya lalu bertanya. "Bang Marco?" Setelah dijawab dengan deheman tanpa memberikan kontak mata, Gracia melanjutkan. "Boleh tanya sesuatu gak?"

Marco mengerutkan alis menatap pada layar ipad-nya yang sengaja di tegakkan untuk bersandar pada vas bunga, supaya tangannya yang sibuk tidak perlu repot terus memegangnya. "Tuh kan. Mau tanya aja pakai ijin segala. Bikin curiga. Nanya mah tinggal nanya kan?"

Pacar Shani ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang