"Kamu tunggu di sini aja." Tuntun Gracia menyuruh Shani kembali duduk di bangku ayunan.
"Mau kemana?"
"Bentar. Nanti aku balik lagi."
Shani hanya dapat mengerutkan dahi tak mengerti melihat Gracia kembali masuk ke dalam villa. Sambil menghitung bintang -meski sepertinya Shani tidak sanggup- ia mengetukkan jari-jarinya sembari menunggu.
Ternyata tidak serumit yang ia kira.
Perasaannya, dan perasaan Gracia.
Mereka ternyata hanya saling tidak mengerti selama ini, bagaimana cara mengekspresikan semua itu.
Tanpa perlu ada kata cinta, sepertinya ia bisa menebak bagaimana Gracia menunjukkan pengakuannya. Shani sudah sangat mengerti akan gadis itu. Karenanya ia berharap, tebakan yang membuat hatinya berbunga bahagia ini tidaklah salah.
Gracia hanya perlu, sedikit lagi, membuang rasa gengsi, seluruhnya kalau bisa, sekali saja.
Iya kan?
"Ditinggal bentar aja udah asik melamun?"
Shani menoleh menatap apa yang dibawa Gre di tangannya, kotak obat-obatan miliknya yang mereka bawa sebagai persediaan. Serta sebotol air mineral. Gracia kini sudah berjongkok di hadapannya, setelah meletakkan kotak itu, membukanya lalu mengambil beberapa plester luka, Gracia terlebih dulu membersihkan luka di kakinya dengan air yang ia bawa.
Meski terasa perih, bibir Shani justru tersenyum mengkhianati.
Apalagi saat ia melihat Gre meniup lukanya, perhatian yang begitu manis. Shani bersyukur Gracia terus menunduk dan fokus pada kakinya daripada melihat tampang bodohnya yang tersenyum lebar seperti orang gila.
Sedang di sisi lain, begitu Gre melihat luka sayatan di kedua punggung kaki Shani, dan beberapa juga ada di telapak kakinya, ia jadi teringat sesuatu. Posisi ini, rasanya déjà vu dengan peran yang harusnya ditukar. Itu sebabnya ia juga ingin mengingatkan Shani akan kenangan yang sama.
"Dulu juga aku pernah ya kayak gini, cuma bedanya tangan aku yang waktu itu lecet-lecet. Kamu ingat? Waktu itu kamu marah banget, sampai bikin aku takut. Sambil ngobatin aku kamu ngomel-ngomel gak jelas. Sekarang giliran aku yang ngobatin kamu, dan juga ada di posisi kamu dulu." Renung Gracia yang bercerita tanpa menatapnya. "Apa aku perlu ngomel-ngomel juga? Biar kamu tau kalau dibentak-bentak gak jelas itu rasanya gak enak."
Shani menjawab, "Silahkan aja, aku ikhlas kok dimarahin. Aku dengerin."
Gracia mendongak, bukannya melihat kekesalan yang mungkin akan ia dapati di wajah pacarnya, ia justru melihat binar mata yang indah di matanya. Seolah mood bahagia bukan hanya bisa tertanam di hati, tapi juga menyebar di seluruh raga. Semua gerak-gerik Shani jelas sekali menunjukkan semuanya.
Ia menahan senyum sambil mengulum bibir. Kenapa Shani harus bersikap semanis ini sih?
Gracia kembali menekuni pengobatannya.
"Aku bukan orang pemarah."
"Tapi keras kepala."
"Memang, tapi yang penting kan aku punya kemauan untuk berubah."
Shani hanya diam. Dan dalam keheningan yang terjadi beberapa saat setelahnya, ia penasaran sekali dengan apa yang dipikirkan Gre sekarang. Mengapa pergerakan tangannya jadi melambat seolah sedang merenungkan sesuatu?
"Gre, kenapa?"
Gracia menggeleng. "Gak kenapa-kenapa. Aku cuma," Ia menghela nafas. "Aku cuma tiba-tiba inget aja dan sadar, kalau yang bikin kita semakin jauh adalah karena kekecewaanku waktu itu. Waktu kamu, abis nyelakain Nadse."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Shani ✔
Fanfiction[COMPLETED] "Gre, she loves you" "Who?" "Kalva Shani Indira. Siapa lagi?" "So.... What? Rasa suka aku udah hilang semenjak aku tahu siapa Kakak yang sebenarnya" ### Menjadi pacar Shani mulanya membuat Gracia hanya merasa muak. Tidak sampai ia tahu j...