Part 3

15.5K 1.1K 22
                                    

"Ini Kak, pesanan untuk meja delapan." Kata pelayan yang dibalas dengan anggukan singkat.

Perempuan itu mengeluarkan ponsel lalu membuka akun instagram-nya. Bukan, dia bukan mau memfoto pesanannya lalu di-share di medsos. Ia hanya ingin men-stalk seseorang yang diincarnya dari dulu. Hanya ia bingung mau bersikap bagaimana jika bertemu. Ia mengetik nama di mesin pencari, tentu saja bukan namanya sendiri.

Foto-foto itu begitu memikatnya. Menariknya seperti kutub positif pada negatif. Seperti paku pada magnet. Ada hal yang berdesir dalam dirinya, tapi ia tak tahu apa itu. Karenanya kini ia sedang mencari tahu.

Meski tujuan utamanya ke sini adalah untuk masalah pekerjaan, sambil menunggu 'rekan kerja', ia memilih untuk menyibukkan diri. Manjadi stalker, sudah termasuk hobi barunya beberapa hari terakhir ini.

Seorang lelaki datang tanpa permisi. Ia duduk di hadapannya sambil membawa sebuah tas. Ia mengeluarkan sebuah benda dari dalam tas hitam itu. Perempuan itu segera menutup layar ponsel dan menyimpannya kembali ke dalam saku.

Ia menerima satu buah map dari seorang lelaki di hadapannya. Lelaki bersetelan jas dan berpakaian serba keliatan formal, perempuan itu mendengus melihat raut wajah tegas dari lelaki paruh baya yang sedang menatapnya dengan tatapan menilai. Pasti dia seorang bodyguard 'tuan'-nya.

Klien yang sebenarnya bukanlah dia. Dia hanyalah orang suruhan. Yang secara tidak langsung membuat perempuan itu sadar, ia juga sekarang ikut bekerja menjadi 'orang suruhan'.
Lelaki itu meletakkan amplop coklat di atas meja, lalu memberikannya. "Itu baru setengahnya, kalau pekerjaan kamu sudah selesai dengan baik, kami akan membayar yang setengahnya lagi."

Uang bisa membayar segalanya.

"Sebenernya gue gak perlu ini, gue cuma perlu nyalurin hobi aja." Perempuan itu berkata acuh sambil menyeringai.

Dengan wajah datar, lelaki itu bertanya. "Semua orang mengenalmu dengan julukan Alva, tapi, saya tahu itu bukan nama asli kamu."

"Nih, minum." Perempuan itu menggeser minuman yang belum sempat disentuhnya sedari tadi, kepada lelaki itu. "Dengan kecerewetan lo yang kepo sama hidup gue, gue tahu lo pasti haus." Sindirnya.

Perempuan itu mendekatkan dirinya pada si lelaki, ia berbisik dengan suara yang penuh dominasi dan tekanan yang menakutkan. "Pikirin ini saat lo pergi, lo gak seharusnya ngurusin masalah gue, Om. Atau lo yang bakal berurusan sama gue nantinya."

Lelaki itu tersenyum tipis sekali. Ia mengendikkan bahu, "Terserah, yang penting kerjaan kamu bagus, itu aja yang kami butuhkan."

"Pergi." Ucap perempuan itu sambil mengendikkan dagunya, mengusirnya pergi. "Gue bakalan pelajari datanya. Lo pergi aja."

Siapapun yang mendengar ini pasti berdecak dan membatin, betapa tidak sopannya perempuan itu pada seorang yang lebih tua darinya. Tapi, dia tidak peduli. Mengapa dia harus sopan pada orang yang berbicara dengannya hanya karena ia membutuhkannya?

Setelah lelaki itu pergi dengan tanpa mengucap satu patah kata pun.
"Siapa korban selanjutnya?" Tanyanya penasaran seraya membuka map yang berisikan data dari orang-orang asing itu.
Saat ia sedang mempelajari data-data itu, suara cempreng dari seorang di sebelahnya, benar-benar menganggu.

"Tapi aku masih cinta sama kamu, Bob."

Lelaki yang dipanggil 'Bob' itu menoleh ke kanan dan ke kiri, "Bisa gak lo gak usah keras-keras gitu ngomongnya? Kita bisa bicara baik-baik di sini. Makanya itu gue bawa lo ke sini."

"Aku mutusin kamu, karena saat itu aku gak yakin sama perasaan aku sendiri, sekarang aku nyesel, Bob. Aku baru sadar ternyata aku cinta sama kamu. Aku pikir kamu masih cinta sama aku, masih nunggu aku, masih gak bisa move on sama aku. Ternyata kamu sama ya, kayak cowok lainnya? Kamu gampang banget buat jadian dan pedekate sama Shania!"

Pacar Shani ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang