Gre tersentak. Ia baru sadar akan sesuatu yang jarang atau bahkan tak pernah terjadi selama ini. Shani tak membiarkannya melihat bagaimana ekspresinya sekarang karena jelas sekali bagaimana tubuh itu sengaja berbalik, enggan menatapnya setelah mengucap kata-kata tadi.
'Lo?'
Mengapa hati Gracia merasa agak nyeri ya?
Gracia tidak biasa dipanggil Shani seperti itu.
Hening. Ternyata bukan hanya Gracia yang tercengang akan nada Shani barusan.
Desy yang pertama kali bersuara, "Beuh, santai aja Bos. Selow dulu. Jangan pada saling tancap gas ya, aduh urusan rumah tangga orang kenapa dibawa ke depan umum segala sih? Aw sakit pea!" Desy mengusap lengannya yang dicubit Siska. "Iya-iya gue diem, gak ikut campur kok. Kenapa pakai cubit segala?" Gracia tak peduli apa yang sedang mereka bisikkan karena tatapannya tak berhenti memperhatikan Shani yang menunduk sambil memegang ponsel. Gracia melangkah sedikit lebih dekat. Hingga ia dapat melihat Shani dari samping. Alih-alih Shani melihat ponsel itu, Gre melihat Shani menatap tanah, memainkan ponsel dengan kedua tangan dan memutar-mutarnya tanpa takut ponsel mahal itu jatuh.
Apakah begini ekspresi Shani saat sedang galau?
Gracia bahkan tak sempat untuk merasa geli menyadari jika seorang Shani yang dingin ternyata juga bisa terlihat se-sensitif ini. Tapi kenapa sih? Masa' cuman karena Dyo? Dyo doang ini mah..
Cuma sahabat masa kecil dia sekaligus mantan tetangga waktu kecil sampai SMP. Bukan siapa-siapanya Gracia.
Jadi, Gracia harus apa? Seperti lebih baik melihat Shani marah daripada bersikap begini.
"Sssstt Gre!"
Gracia menoleh pada Siska. "Samperin gih," Bisiknya dari jauh.
"Takut.." Cicit Gre.
Siska bahkan sampai menghampirinya, menyenggol lengannya dan mendorong-dorong tubuhnya mendekat Shani. Gracia menggeleng berkali-kali. Siska memaksa dengan menyeret tangannya sampai di depan Shani. Suara mereka sebenarnya menimbulkan kegaduhan yang nyata. Bikin Desy harus menahan tawa melihat kelucuan itu dari jauh. "Tanggung jawab lo Gre, udah bikin Shani badmood. Hibur dia kek." Gemas Siska.
Gracia mematung saat Shani meliriknya tapi kemudian dia harus merasa kecewa saat Shani kembali bermain dengan ponselnya. Dia diabaikan. Dianggap patung selamat datang. Percuma deh dia diseret-seret Siska sampai di sini.
Dengan teganya, Siska tetap pergi meninggalkannya saat Gracia menyuruhnya untuk tetap tinggal menemani. "Itu urusan lo berdua. Gue cuman membantu biar lo gampang menyelesaikannya. Sedangkan gue? Punya urusan sendiri. Ngomong dong lo, panggil Shani kek, basa-basi kek. Shani kalau udah dalam tahap perasaan kaya gini nih gue tau, bakal mogok ngomong sampai dia punya mood buat ngomong lagi. Sana-sana, semangat ya, ajak ngobrol itu pacarnya."
Maka setelah Siska pergi, Gracia hanya dapat menghela nafas. "Kak, gue ikut duduk ya."
Shani diam. Diamnya Shani berarti iya.
Gracia dengan lesu duduk di sampingnya. Berpikir mau mulai pembicaraan dari mana. "Maaf." Shani tetap tak bergeming. Ekspresinya datar-datar saja kayak papan triplek. Gracia jadi greget sendiri. "Kak, marah?" Tanyanya gelisah.
"Ngapain lo di sini?"
Balasan dingin dari Shani kembali menyadarkannya akan ucapan Shani yang pertama. Panggilan itu tak berubah. Itu berarti, tak perlu Gracia sulit mencari tahu, Shani masih marah. Buktinya, dia masih dipanggil 'lo' sama Shani, bukan 'kamu' seperti biasanya.
"Niat awal sih mau nonton basketnya yah," Gracia cengengesan. "Tapi, banyak banget rintangannya."
"Niat akhir jadi pengen jalan sama sahabat kecil lo itu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Pacar Shani ✔
Fanfiction[COMPLETED] "Gre, she loves you" "Who?" "Kalva Shani Indira. Siapa lagi?" "So.... What? Rasa suka aku udah hilang semenjak aku tahu siapa Kakak yang sebenarnya" ### Menjadi pacar Shani mulanya membuat Gracia hanya merasa muak. Tidak sampai ia tahu j...