Part 14

12.5K 992 39
                                    

"Aku gak pernah mau pacaran sama orang jahat."

Jleb.

Ia berharap terlalu besar, seperti kata Gracia yang sepenuhnya benar tadi. 'Jangan sering berharap banyak,'

Kata-kata itu membunuh hati Shani.

Shani menunduk. "Maaf."

Gracia mengabaikannya. "Aku gak ngerti kenapa Kak Shania sampai sekarang selalu belain Kakak," Katanya sambil menggeleng heran.

"Maafin gue."

"Jelas-jelas Kakak salah selama ini!" Gracia memegang kepalanya, tanda jika ia telah terlalu pusing menghadapi kenyataan pahit.

"Gue minta maaf."

"Kakak orang yang sama seperti orang yang telah membunuh Bunda aku."

Shani memberanikan diri menyentuh tangan mungil Gracia. Dingin. Sedingin hati gadisnya sekarang yang tak mungkin mudah ia hangatkan kembali.

"Jangan sentuh aku," Gracia menyentakkannya. "Jangan pernah berani ngelakuin itu lagi." Gertaknya.

Shani semakin tergugu dalam diamnya. "Dosa apa sih gue ya Tuhan," Gumam Gracia merasa stress. Salah apa dia sebelumnya sehingga berhak mendapatkan hukuman seperti ini? Kenyataan ini begitu sakit menghantam ulu hatinya secara bertubi-tubi.

Shani melangkah satu jarak lebih dekat, Gracia mundur dengan langkah dua kali lipatnya. "Kakak bukan manusia, tapi monster." Atmosfer suasana di sekitar mereka menjadi mencekam.

Entah kenapa mendengar olokan itu tidak membuat Shani murka, sama sekali. Namun bersedih, serta marah kepada dirinya sendiri. Kini Shani sepenuhnya membenci Alva. Ia tak punya alasan untuk tidak membenci dirinya sendiri. "Mesin pembunuh manusia lainnya, secara sadis dan gak manusiawi. Kakak bilang Kakak suka sama aku? Yakin?"

Shani mengangguk lemah.

"Emang Kakak punya hati?"

Harus berapa kali lagi Shani merasakan jatuh? Bahkan dibunuh mungkin terasa tak lebih sakit dari semua rasa perih ini. Shani merasa terpojokkan. Shani merasa disudutkan. Shani merasa ia tak pantas hidup.

"Kakak serem tau gak, creepy. Nge-stalk instagram aku, memata-matai aku, memonitor aku dari jauh selama ini... Kakak bikin aku merasa aku adalah target selanjutnya. Korban yang Kakak mau bunuh, sekali lagi aku tanya, apa iya?"

Shani menggelengkan kepalanya, yakin. Memang bukan.

Gracia mengeratkan genggamannya pada selempang tas yang ia pakai. "Tapi aku udah terlanjur takut Kak," Katanya dengan suara bergetar. "Aku udah terlanjur takut sama Kakak," Gracia menatap Shani dengan pandangan yang tak bisa Shani artikan. "Kakak orang yang tegaan, gimana aku bisa gak takut? Makanya itu aku lebih memilih mutusin pulang sendiri aja daripada harus Kakak antarkan. Makanya itu aku benci pas ditinggal Kak Shania dan Kak Boby buat menyisakan kita berdua di tempat tadi. Aku takut, aku gak bisa percaya lagi sama Kakak. Setelah Kakak melakukan semua kebohongan ini,"

Gracia kemudian berbisik, "Tinggalin aku sendiri Kak, aku butuh waktu. Dan setelah ini, jangan pernah berani memunculkan wajah Kakak di hadapan aku atau," Ia menghela nafas, berat. "Ya, sesuai dengan apa yang pernah aku bilang, aku yang bakalan bunuh Kakak pakai tangan aku sendiri. Karena Kakak adalah pembunuh itu."

Sungguh, meskipun ia sudah tau Shani adalah pelaku kriminal itu, tapi ia tak bisa melaporkannya kepada polisi. Bukan karena kasus itu telah di tutup. Tapi karena ia yang memang merasa gamang untuk melaporkannya. Apalagi itu adalah orang yang dulu pernah membuat getaran aneh hadir di jantungnya.

Pacar Shani ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang