Part 50

14.6K 856 210
                                    

GRACIA POV

"Beneran deh, aku gak mau ngerepotin kamu. Udah ah, sampai kapan kita bakal debat soal ini terus? Aku kira kita sama-sama belajar untuk saling pengertian." Ucapku sambil menatap langit biru yang cerah di atas sana. Aku sedang tidak mood untuk bertengkar, itu sebabnya aku memandang langit, berharap dengan begitu emosiku dapat selalu stabil menghadapi kelabilan Shani.

"Kamu gak ngerti aku lagi cemburu." Gotcha. Akhirnya dia mengaku juga. "Jangan ketawa. Kamu tau sendiri kalau gak mudah buat aku mengakui hal itu." Yayaya, Shani dan ego besarnya.

Aku mendengus sambil tertawa geli. "Kamu tau sendiri aku itu cintanya sama kamu. Gak perlu cemburu sama Viny yang statusnya cuma temen dan tetangga. Kamu lebih segala-galanya daripada dia."

"Really?"

Aku menghela nafas. Kenapa Shani selalu seperti ini? Seolah tidak percaya dengan perasaan seperti apa yang aku miliki untuknya. Ini sedikit menyakitkan.

"Of course." Ucapku tanpa keraguan.

"Say it louder."

"What?"

"Say that. Kalimat yang selalu aku ucapin ke kamu juga."

"Oh, I love you. Are you happy now?"

"Tuh kan kayak kepaksa."

Aku mulai mengeluh dalam hati. "Tuh kan, kamu juga mulai nyebelin." Bertepatan dengan itu, aku mulai berjalan. Sedari tadi aku menunggu jemputan Viny dari teras rumah, sambil bercengkrama dengan pacar lewat telepon. Aku pikir dengan begitu aku bisa semangat memulai hari. Bukannya berdebat seperti ini. "Aku udah mau berangkat, aku matiin ya telfonnya. Semangat buat aktivitas kamu hari ini, dah" Terlanjur kesal, aku mematikan sambungan itu secara sepihak setelahnya. Tanpa kata-kata verbal penuh kasih sayang sebagai penutup seperti biasanya. Kebiasaan itu pun adalah tuntutan dari Shani, dia selalu memintaku untuk terbiasa mengucapkan kata-kata cinta. Entahlah, sejak kejadian Shani depresi dan sekarang dia sudah mulai meyembuhkan diri, dia menjadi semakin posesif kategori akut setiap harinya. Dia juga semakin takut dan menggila saat aku menghilang meski itu hanya sebentar, padahal aku juga punya kesibukan sendiri.

Viny melempar helm kepadaku. "Berantem lagi? Berantem mulu perasaan."

"Tau ah." Aku berdecak sambil memakai helm dan menaiki motornya. "Padahal maksud gue beneran baik. Niat gue itu pengen memudahkan dia. Dia lagi hectic sama kerjaan. Dan ada lo yang tempat kerjanya searah sama kampus, kenapa kita gak bareng aja ya kan? Repot banget Shani tuh. Kayaknya dia emang salah satu orang yang terlahir dengan stok cemburu yang gak habis-habis."

"Lo ngomel-ngomel kayak gitu, tapi lo tetep sayang sama dia kan?"

"Ya iya."

"Yaudah kasih pengertian aja."

Aku hanya menjawab saran dari Viny dengan gumaman sambil merasakan serta menikmati angin segar pagi hari yang menerpa wajahku. Sebenarnya, ada alasan lain kenapa aku ada di atas motor ini sekarang. Aku merasa tidak punya teman. Teman tentu berbeda dengan sosok pacar. Okta, 3 bulan terakhir Okta lebih aktif belajar soal bisnis dan mempraktekannya pada perusahaan yang dirintis papanya. Shani tidak bisa diharapkan karena ia mempunyai usaha sendiri. Dan sebagai gantinya, Okta yang akan meneruskan usaha keluarganya. Sejak itu kuliahnya agak terbengkalai. Okta menjadi sangat sibuk dan jangankan bisa memiliki waktu untuk dihabiskan bersamaku sebagai sahabatnya, waktu untuk tidur saja baginya masih kurang. Sebagai sahabat yang baik, aku hanya bisa mendukungnya. Okta lebih sering berada di luar kota atau luar negeri dan berpindah-pindah. Bahkan dalam seminggu, ia pernah berada di 4 negara yang berbeda. Memang sebegitu sibuknya.

Pacar Shani ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang