Part 24a: Something About Love

6.9K 1K 87
                                    

Setelah menjalani beberapa tes dan menyelesaikan sejumlah kelengkapan administrasi, akhirnya Reefa dapat memindahkan ibunya dari rumah sakit jiwa ke panti wredha di daerah Jakarta Timur. Dari setelah subuh, Reefa berada di kamar ibu untuk membereskan pakaian dan barang-barang yang jumlahnya tidak seberapa dan mungkin tidak bernilai karena telah usang. Tetapi Ibu meminta Reefa tetap membawa pakaian dan barang miliknya ke tempat tinggalnya yang baru, ia masih terikat dengan sejarah atau kenangan dari apa yang pernah ia miliki.

"Nah... itu, daster itu pemberian Ayahmu yang terakhir kali, beberapa hari sebelum ia meninggal, " ucap Ibu lembut ketika ia melihat Reefa melipat baju panjang batik berwarna ungu muda bermotif bunga.

Reefa mendongak menatap Ibu, lalu memandang baju yang telah terlipat rapi di pangkuannya. Daster itu masih terlihat bagus, berbeda dengan baju-baju lainnya yang mulai lusuh.

"Selera Ayah memang bagus," puji Reefa sambil tersenyum. "Omong-omong, sebelum menuju ke panti wredha, kita mampir ke mall ya, membeli pakaian baru untuk ibu." Lanjut gadis itu kembali.

"Hmm.. boleh. Ibu sudah lama sekali tidak main ke mall." Ibu tertawa riang, hari ini adalah hari perdananya keluar dari tembok tinggi rumah sakit ini. Reefa memandang ibunya dengan bahagia, cepat-cepat menyelesaikan beberapa baju terakhir.

"Reefa?"

"Ya?"

"Semua ini kamu bayar dari penghasilanmu sendiri kan?"

Pertanyaan ibu membuat Reefa mendongak, ketika menatap ibunya yang memandang dirinya penuh kecurigaan, Reefa menghela napasnya sejenak. Menyiapkan diri untuk kebohongan yang siap ia lontarkan.

"Ya, Bu. Coba darimana lagi?" Reefa tertawa sedikit gugup.

"Ibu harap kamu tidak berbohong." Ibunya masih menatapnya tajam.

Reefa mengerjap bertanya, berpura-pura seolah-olah ia tidak terjadi apa-apa.

"Kamu tahu, Reefa... kemarin pamanmu ke sini menengok Ibu. Adik ayahmu yang seolah tidak mengenal kita setelah kematian ayah."

Seketika jantung Reefa mencelos, tapi ia tidak bisa mengucapkan satu katapun. Mulutnya terkunci rapat.

"Dia bilang kamu menempuh jalan yang salah saat ini. Ibu tidak mengerti apa yang ia ucapkan."

Reefa kembali tertawa kecil menutupi kegugupannya. "Ibu tidak usah mempercayai kata-kata Paman. Ke mana saja dia selama 10 tahun ini? Datang-datang ia hanya ingin menghancurkan hubungan ibu dengan Reefa."

Ibu kembali tercenung, memikirkan kata-kata Reefa. Ia membenarkan apa yang diucapkan Reefa kalau adik suaminya hanyalah seorang oportunis, tetapi ia juga masih ingat kalau Reefa pernah mengenalkan Dimitri sebagai calon suaminya.

Dimitri, laki-laki muda laknat itu... Laki-laki yang pernah sangat disayang oleh suaminya seperti anaknya sendiri. Nama yang selalu diucapkan suaminya ketika ia pulang dari kantor dengan penuh pujian dan rasa sayang dan sempat-sempatnya suami beberapa kali memikirkan untuk menjodohkan Dimitri dengan Reefa. Tapi apa yang terjadi kemudian, sang staf kebanggaan suaminya berkhianat. Mengatakan dengan penuh keyakinan di depan pengadilan bahwa suaminya melakukan korupsi. Padahal sepeser pun ia tidak tahu uang itu mengalir ke mana. Suaminya hanya meninggalkan sejumlah hutang dan rasa malu ketika meninggalkan mereka dengan cara bunuh diri.

Nafas ibu terasa berat, mengingat semua kenangan membuat luka hatinya membuka kembali. Ia sekarang berharap Reefa telah memutuskan hubungan dengan sang pengkhianat licik itu. Ia tidak tahu apa yang sanggup ia lakukan kalau Reefa masih bersikeras ingin menikahi Dimitri.

Reefa mengambil jalan yang salah...

Itu yang diucapkan oleh adik suaminya dan laki-laki itu tidak mau menjelaskan apa yang telah ia katakan. Tapi laki-laki itu meninggalkan alamat dan nomor telepon yang bisa ia hubungi.

A Perfect LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang