Extra Part

13.3K 1.3K 321
                                    

In my heart, in my head, it's so clear now,
Hold my hand you've got nothing to fear now,
I was lost and you've rescued me some how-.
I'm alive, I'm in love you complete me,
And I've never been here before.
Now I see, what love means.
(Unbelievable, Craig David)

Bogor, 1 tahun kemudian

"Terima kasih," ucap gadis itu malu-malu, wajahnya menatapku sekilas kembali sambil mengambil uang kembalian yang aku sodorkan padanya.

Ia mengambil uang itu cepat-cepat dan sengaja menyentuh telapak tanganku dengan jemarinya.

Aku mengangguk dan tersenyum ramah, gadis ini telah dua minggu menjadi pelanggan tetap toko kue yang merangkap kafe kecil milik kami. Wajahnya memerah menatapku kembali lalu ia segera keluar dan disambut oleh teriakan teman-temannya yang telah menunggu di depan. Aku mendesah dan menggeleng, menertawakan diri sendiri. Sepertinya keberadaanku di belakang mesin kasir sambil mengenakan celemek putih sangat mencolok. Aku mempertimbangkan untuk berhenti menjadi chef dan mempekerjakan chef sungguhan.

"Ada apa, Dimka?" Reefa menepuk pundakku, aku menoleh dan melihat tatapan matanya yang kosong tapi senyumnya yang selalu bisa membuat hari-hariku cerah, bahkan di hari terburuk sekalipun.

"Biasa, sejumlah segerombolan mahasiswi datang kalau aku yang jadi kasir dadakan."

"Ah, café dan toko kue ini kan memang populer karena dirimu. Chef tampan bermata abu-abu dengan rambut coklat gelap yang kadang-kadang suka muncul menyapa pelanggannya. Apalagi yang lebih menarik dari itu?" gelak Reefa riang, ia menyenggol pinggulku dengan pinggulnya, memintaku untuk hengkang dari kursi kekuasaannya sebagai kasir.

"Dimka, kamu memang harus sering-sering muncul. Fans service. Kamu tahu sendiri persaingan antar café dan toko kue makin ketat sekarang. Sejujurnya, kalau bukan karena kamu yang suka pamer kegantengan di cafe, aku tidak menjamin usaha kita ini tetap bertahan."

Aku tergelak, memikirkan mungkin benar yang dikatakan Reefa. Kemudian aku menyentuh keningnya dengan bibirku.

"Hush, Dimka! Jangan sering-sering pamer kemesraan, ini Bogor bukan Birmingham." Reefa mendorong pelan pundakku.

Aku tetap tidak melepaskan pelukanku pada Reefa, malah merengkuhnya makin erat dan menghidu wangi rambutnya yang beraroma campuran antara susu, minyak telon, dan strawberry. Sejumlah tamu di toko terkikik geli melihat tingkahku tetapi beberapa yang lain melihat kemesumanku.

"Hmm, tidak apa-apa. Ini fans service juga kan untuk yang sudah berpasangan. Pada umumnya mereka senang dengan pasangan yang romantis."

"Hati-hati, nanti para ABG dan mahasiswi fansmu hilang dan toko kita akan bangkrut."

"Biar saja. Di mana si kembar?"

"Ada Majka dan Ayah baru datang. Mereka bilang supaya meninggalkan Maryam dan Malik dengan mereka. Mereka akan membawa si kembar menginap di rumah mereka.

Aku menaikkan alis mataku, sangat berterima kasih dengan orangtuaku yang sangat pengertian. Ayah telah pensiun dan kembali menetap di Indonesia bersama Majka, tetapi Katie masih berada di Kanada.

"Apa kita menutup toko lebih awal hari ini, " bisikku serak di telinganya yang mungil. Saat ini aku benar-benar ingin menggigit telinga Reefa.

Wajah Reefa seketika memerah karena ia tahu maksudku.

"Dimka, hari ini ada undangan pernikahan dari Dita. Kamu masih ingat Dita, kan?"

"Ah, tentu saja." Tentu saja aku tidak akan melupakan Dita yang merupakan sahabat terbaik Reefa. Hari-hari tergelap di dalam hidupku ketika Reefa koma selalu diisi dengan kehadirannya.

A Perfect LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang