Part 23a: No Price To Love

8.6K 1K 80
                                    

William mengamati Dimitri yang sedang mengobrol dengan para direktur lain pada saat coffee break, mereka baru selesai menjalani Fit and Proper Test. Laki-laki muda yang merupakan rekannya sekaligus saingannya dalam memperebutkan posisi direktur utama terlihat sangat bahagia, senyum tidak pernah lepas dari wajah yang William akui sangat tampan itu. Mungkin apa yang disampaikan Sonya, mantan kekasihnya, kemarin sore melalui pembicaraan melalui telpon benar adanya.

Ketika Dimitri mengangkat tangannya, menandakan dia meminta ijin akan meninggalkan rekannya, William segera mengikuti Dimitri dan berjalan di sampingnya.

"Dimitri..." Laki-laki itu mencekal lengan Dimitri, membuat Dimitri mengerutkan kening.

"Ya, Pak William?" Sekalipun jabatan mereka setara, Dimitri tidak pernah memanggil William langsung dengan namanya. Adat ketimuran dalam menghormati orang tua tidak pernah dilupakan Dimitri, walau ia adalah hasil didikan barat.

"Kamu sudah melihat MoU antara kita dan developer perumahan raksasa itu? Sepertinya apa yang mereka tawarkan cukup menguntungkan bagi kita."

Dimitri berhenti sebentar, menatap William dengan maklum. Ia tahu memang nominal uang yang ditawarkan sangat menggiurkan, dengan uang senilai itu Dimitri bisa mempercepat pensiun dini paling tidak 3 tahun. Tetapi Dimitri menggeleng, ia tahu resiko yang akan mereka terima jika rencana meleset, mereka akan dituntut melakukan korupsi dan berakhir di belakang jeruji penjara dengan reputasi yang hancur.

"Tidak. Saya sama sekali tidak tertarik."

"Maumu apa, Dimitri? Developer ini tidak pernah mangkir dari kreditnya, mereka menjamin kalau mereka akan mengembalikan uang tepat waktu. Uang senilai itu tidak berarti apa-apa bagimu?" William terlihat kesal, matanya menyipit menatap Dimitri. Direktur utama tidak akan pernah menandatangani kredit itu, kalau Dimitri tidak merekomendasikannya.

"Uang senilai itu sama sekali tidak berarti dibanding dengan integritas yang saya pupuk bertahun-tahun." Dimitri tersenyum sekilas lalu melanjutkan kata-katanya, "Tidak ada hal lain yang ingin dibicarakan? Saya ingin segera pulang."

"Baiklah. Omong-omong, selamat atas pernikahanmu dengan asistenmu." William menutup rasa dongkolnya dengan tersenyum, terlihat tulus.

Dimitri tergelak mendengar ucapan William , ia tahu seniornya itu bermaksud menyindir atau bahkan menjebaknya.

"Pernikahan? Apa yang Anda bicarakan, Pak?"

"Cincin yang kamu kenakan itu jelas cincin pernikahan dan aku baru melihatnya hari ini." William menyerang Dimitri tanpa ampun sambil melirik tepat ke arah jari manis Dimitri.

"Ah, ini..." Dimitri otomatis memutar cincin di jari manisnya. "Ini cincin pertunangan, saya bertunangan dengan dia kemarin." Dimitri terpaksa berbohong, sesungguhnya yang ingin ia lakukan adalah mengakui Reefa sebagai istrinya kepada setiap orang, tapi hal itu mustahil saat ini.

"Oh, ya? Selamat atas pertunangan kalian. Saya menunggu undangan pernikahannya." William tersenyum seperti biasa, padahal merasa sangat dongkol. Semua yang ia rencanakan gagal, padahal ia sudah membujuk 2 direktur lainnya untuk setuju dengan kredit itu. Kekesalannya makin memuncak dengan ditambah Dimitri sama sekali tidak terlihat gugup atau salah tingkah ketika ia menyebut soal pernikahan.

Dimitri tertawa kembali, ia menepuk pundak William lalu berjalan menuju elevator.

Sementara William memandang kepergian Dimitri dengan amarah yang semakin menggelegak. Semua usahanya selama ini percuma, padahal ia membayangkan uang belasan milyar bisa masuk ke pundi-pundi tabungannya beberapa bulan lagi kalau kontrak itu berhasil ditandatangani oleh 4 direktur dan juga direktur utama.

A Perfect LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang