Look At Me

3.1K 434 37
                                    

Susah payah diriku mencoba untuk menenangkan diri. Tangisku semakin menjadi. Intensitas getaran yang ada pada tanganku seperti tak bisa ditolerir lagi. Dengan kondisi seperti ini sangat mustahil bagiku untuk melakukan operasi guna mengangkat peluru yang bersarang di dekat tulang selangka Jungkook. Sementara darah tak berhenti merembes mengotori kemeja yang Jungkook kenakan.

Namun, aku tak bisa hanya diam melihatnya kehabisan darah. Tanpa buang waktu lagi, aku beranjak dan mengambil peralatan bedah yang sama sekali belum pernah kugunakan. Bahkan aku baru mendapatkan surat izin praktik bedah seminggu yang lalu.

Jungkook menatapku. Sorot matanya benar-benar mengirimkan sinyal pada diriku sendiri untuk yakin.

Kuputuskan untuk mengangkat peluru itu.

Aku segera memposisikan diri duduk di sampingnya yang terbaring di ranjangku. Kubuka kotak peralatanku dan segera kupakai sarung tangan. Setelahnya, aku membuka kemeja Jungkook. Menyisakan kaus putih berlengan pendek yang ternoda karena bercak darahnya menembus. Agak terkejut diriku saat melihat lukanya.

Ini benar-benar pertama kali diriku melakukan operasi bedah.

"A-ada apa?"

Ia seperti mengetahui perubahan ekspresiku, aku menoleh padanya dan menggeleng kecil.

"Jungkook, berjanjilah, apapun yang terjadi, jangan lihat lukanya,"

Aku meneguk ludah sebelum melanjutkan.
"Lihat aku."

Jungkook tersenyum.

Ah, aku tak habis pikir dengan kalimat yang baru saja kuucapkan.

"Aku akan selalu melihatmu, Lin."

Tak disangka ia menjawab. Aku tertegun, tetapi berusaha memusatkan kembali konsentrasiku pada luka yang menyobek otot bisep Jungkook ini. Segera tanganku bergerak mengambil jarum suntik dan obat bius. Setelah mengisi suntikan dengan obat bius bertakaran tepat itu, tanganku segera terampil menyuntikannya di dekat luka itu. Jelas kudengar Jungkook mendesis.

Setelah itu, aku menaruh suntikan itu di nakas dan segera mengambil tindakan selanjutnya, membuka luka tembak itu. Pisau bedah yang sudah kupegang segera kugunakan untuk menyayat luka itu dan segera mencari dimana keberadaan bongkahan alumunium itu.

Ekor mataku menatap Jungkook yang memejamkan matanya, menahan perih.

Tunggu sebentar, Jungkook. Sialnya, peluru sialan itu masuk cukup dalam.

Aku berterima kasih pada lampu tidurku yang memantulkan cahaya redupnya hingga mataku dapat melihat jelas keberadaan peluru itu. Segera kuambil pinset dan bersiap mencabut peluru berwarna keemasan itu. Sementara darah masih kerap mengalir keluar.

"Jungkook-a, ini akan sedikit sakit. Teriaklah sekeras mungkin jika kau tidak bisa menahannya."

Tak butuh waktu lama, aku mencabut peluru itu, menyebabkan Jungkook menggeram dengan mata yang terpejam erat dan menenggelamkan kepalanya pada bantalku.

Aku memekik panik, merasa bersalah.

"Astaga, Jung. Maafkan aku."

Tidak cukup sampai disini, aku segera menutup kembali lukanya dengan beberapa jahitan dan mengakhirinya dengan balutan perban.

Jungkook bernafas lega saat menyadari diriku yang sudah menyelesaikan aktivitasku. Begitu pun denganku. Aku menatap hasil 'karya'ku. Ah, rasanya begitu tak terduga sekaligus bangga karena aku berhasil mengangkat peluru itu tanpa halangan.

Mataku beralih menatap wajahnya. Jungkook dengan sebuah titik bening di sudut matanya, mata sayu dan senyum lemahnya berterima kasih.

"Kau berhasil melakukannya. Terima kasih, Lin."

Aku menggeleng.
"Aku tidak akan berhasil jika kau tak meyakinkanku."

Jungkook tersenyum lemah. Sebelah punggung tangannya membelai pipiku lembut.
"Wajah seriusmu cantik. Aku menyukainya."

Apa maksudnya? Masih sempat gombal di tengah kondisinya yang hampir kehabisan darah ini?

Tetapi apa ada yang salah jika jantungku berdegup semakin kencang dan pipiku terasa menghangat?

"A--aku harus menghubungi rumah sakit."

Segera kulepas sarung tanganku dan menghubungi ambulan rumah sakit terdekat. Setelah itu, kembali memusat perhatianku pada Jungkook yang terlihat semakin lemas setiap menitnya.

"Apakah terasa sangat perih?"

Ia memejamkan matanya dan mengangguk lemah.

"Tunggu sebentar lagi. Pihak rumah sakit akan datang."

Entah apa yang kupikirkan, namun jelas diriku sangat mengkhawatirkannya. Tanganku bergerak menyibak poninya yang basah karena keringat membasahi pelipisnya. Jungkook bereaksi dengan menggenggam jemari tanganku dengan lembut.

"Semua akan baik-baik saja. Tidak perlu terlalu khawatir,"tutur Jungkook seraya mengangkat buku jarinya mengelus pipiku.

"Aku mencintaimu."

Jantungku seperti sempat berhenti berdetak. Kuharap apa yang baru saja kudengar bukan sekedar ilusiku saja. Aku diam membeku. Aku tidak salah dengar, bukan?

Ia meletakkan telapak tangannya pada perpotongan leherku dan menariknya lembut. Aku tidak melawan, karena ya, jujur saja, aku juga sangat ingin menciumnya. Membisikkan padanya bahwa aku juga ingin belajar mencintainya. Membisikkan padanya bahwa aku disini, selalu di sampingnya. Membisikkan padanya bahwa ia tidak pernah berjalan sendirian.

"Aku-aku tak mengerti, Jungkook,"bisikku sebelum mengecup bibirnya dengan lembut.

***

Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih tak bosan menunggu kepastian dari dokter yang akan muncul di depan pintu ruang instalasi gawat darurat yang ada di depanku saat ini. Aku sudah menghubungi kedua orangtuaku serta orangtua Jungkook. Mereka bilang mereka sangat terkejut saat mendapati pintu balkon terbuka dan keadaan kamarku yang berantakan dengan kaca jendela pecah, pintu berlubang, dan darah dimana-mana. Mereka belum datang.

Aku sendiri bingung. Apa yang harus kukatakan pada mereka. Lagipula, Jungkook adalah saksi utama peristiwa ini. Ya, aku 'kan hanya bersembunyi di balik pintu kamar mandi.

Aku tak bisa merasakan kantuk. Sedih, cemas, gugup, bercampur menjadi satu. Duduk dengan kaki yang tak hentinya bergerak gelisah sungguh sangat membuatku tidak nyaman. Mataku terasa berat. Pipiku basah dan lengket.

Jantungku berdetak lebih cepat saat melihat seseorang berbalut jas dokter serta stetoskop melingkar di lehernya keluar dari pintu ruangan yang ada di depanku. Aku berdiri dan menghampirinya. Dokter itu tersenyum lembut, menatapku dengan pandangan yang teduh.

"Anda keluarga pasien?"

"Saya temannya, Dok. Bagaimana keadaannya?"

Dokter bermarga Song itu tersenyum lembut.

"Pasien baik-baik saja sekarang. Kami sudah menanganinya dengan tepat. Pertolongan pertama yang diterapkan pada pasien sangat berarti. Namun akan sangat berbahaya apabila bukan ditangani oleh orang yang tepat. Apakah anda yang mencabut pelurunya tadi?"

Aku mengangguk kecil. Dokter murah senyum itu kembali tersenyum.

"Anda hebat."

Aku menggeleng kecil.
"Saya hanya menerapkan apa yang saya pelajari di kampus."

"Baik. Pasien dapat dikunjungi setelah dipindah ke ruang inap. Pemindahannya tidak membutuhkan waktu yang lama. Tunggulah sebentar. Pihak administrasi akan memberitahu anda ruangannya."

Aku mengangguk dan kembali duduk.

"Lina-ya!"

Suara itu menginterupsi. Aku kembali berdiri dan mencari Sumber suara. Seorang wanita tengah berlari dari ujung lorong. Ibu Jungkook.

"Bagaimana?"

Aku meneguk ludah.

***

Maaf banget, mood lagi jelek buat ngetik. Ini maksa sumpah:v
But thanks yang sudah mau bertahan. Aku sayang kalian💜

Endless Feeling [✔]jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang