More Story

1.9K 289 21
                                    

Hari-hari pun berlalu. Aku masih kuat untuk menjalani setiap hariku dengan senyum. Berusaha menghalau pikiran-pikiran negatif. Berpikir bahwa mungkin aku harus menunggu sedikit lebih lama dengan banyak luka, untuk bisa meraih akhir yang bahagia. Aku berpikir, mungkin Tuhan hanya ingin membuatku lebih kuat.

"Lina."

Itu adalah suara Wonwoo. Ia membuyarkan lamunanku.

"Jangan terlalu sering melamun. Kau ini,"tuturnya.

Kalimat itu mungkin menjadi yang kesembilan kalinya ia katakan padaku hari ini.

"Aku tidak melamun, Wonwoo-ya. Aku sedang berpikir,"kilahku.

Wonwoo hanya menatapku ragu sembari terus menyedot minuman berwarna biru terang itu.

"Jangan terlalu banyak minum soda. Tidak baik untuk kesehatan,"balasku.

Ia terkekeh.

"Tidak juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidak juga. Ini soda ketigaku dalam seminggu."

"Terserah. Aku sudah memperingatkanmu."

Sesaat kemudian, kami saling terdiam. Wonwoo masih menikmati minuman sodanya, sementara itu, aku masih larut dalam lamunanku.

"Min Lina,"panggilnya. Aku menyahut dengan gumaman.

"Sebenarnya, aku lebih suka dipanggil Jeon."

Aku terdiam dan menatapnya.

Jeon? Haruskah? Justru aku yang tidak suka jika aku harus memanggilnya Jeon.

"Mengapa?"tanyaku.

"Agar suatu saat nanti, jika aku menikah, aku akan terbiasa menggunakan nama margaku."

Aku mengernyit heran.

"Kau tau, alasan di balik itu semua, memang terdengar cengeng. Tetapi, aku memang perlu membiasakan diri dengan marga itu."

Aku mengangguk.

"Pasti ada sesuatu yang tidak menyenangkan dari balik marga itu. Aku memahaminya,"ucapku.

"Terima kasih."

Suasana kembali canggung. Memang, kami belum lama berteman. Hanya sekitar dua minggu. Tetapi, apakah salah jika kami berbagi lebih banyak cerita?

"Apa kau mau mendengarkan kisahku di balik nama Jeon itu?"tawarnya.

"Apakah itu melanggar privasimu?"tanyaku balik.

Wonwoo mengendikkan bahu.

"Kurasa ini waktu yang tepat untuk berbagi cerita."

"Baiklah."

Pemuda berkacamata itu menghela nafas sebelum melanjutkan pembicaraan. Lantas, ia menatapku dan memulai kisahnya.

"Saat itu umurku baru menginjak delapan tahun. Aku senang sekali saat kedua orangtuaku memberiku hadiah ulang tahun yang kutunggu-tunggu."

Endless Feeling [✔]jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang