Hari demi hari pun berlalu. Sudah dua minggu Yoongi maupun Jungkook masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sejauh ini, kondisi Yoongi sudah tidak lagi mengkhawatirkan. Ia hanya perlu waktu untuk istirahat dan memulihkan kondisi tubuhnya. Ara bahkan melapor padaku bahwa beberapa hari yang lalu Yoongi terbangun untuk pertama kalinya, setelah ia tidur panjang selama seminggu. Namun sayang sekali aku tidak bisa menjenguknya karena dalam minggu ini aku harus menangani banyak pasien, termasuk Jungkook.
Jungkook masih belum sadar. Setiap saat aku memeriksa kondisi tubuhnya. Wajahnya masih terlihat pucat. Matanya terpejam damai, sedang bibirnya terlihat mengering. Wajahnya semakin tirus. Tubuhnya semakin kurus. Meski kondisinya stabil, tubuhnya belum menunjukkan tanda-tanda peningkatan yang signifikan.
Apa yang kau mimpikan, Jungkook? Apa yang kau mimpikan hingga membuatmu tidur begitu lelap seperti ini?
Aku menarik ujung stetoskop dari lehernya dan melaporkan kondisinya pada perawat di sampingku. Setelah itu, aku pun mengalungkan stetoskop pada leherku dan memasukkan ujungnya pada saku jas putihku. Aku duduk di sampingnya setelah meminta perawat untuk meninggalkanku dan Jungkook. Aku menghela nafas dan beralih menatap wajahnya.
Tanganku bergerak meraih pergelangan tangan Jungkook yang tersambung oleh selang penyangga kehidupan. Ibu jariku mengusap punggung tangannya yang terasa dingin dan terlihat semakin kurus. Sesaat kemudian, pandanganku beralih untuk melihat wajahnya.
"Apakah mimpimu terlalu indah hingga kau belum berniat untuk bangun?"ucapku.
Ia tak menyahut.
"Maafkan aku. Aku harus pergi untuk menemui Yoongi. Hari ini kau akan ditemani Dr. Park."
Aku tersenyum. Mencium pipinya sebelum melangkah keluar. Dalam kurun waktu satu minggu ini, aku mengalami begitu banyak hal yang membuat perasaanku bercampur aduk. Kemarin, aku sempat terkena serangan kecemasan karena tiba-tiba memori dan segala mimpi buruk tentang kepergian orangtuaku kembali muncul. Beruntung saja, ada Dr. Park dan Ryujin yang sigap menenangkan diriku.
Mereka berdua lebih sering berada di sampingku daripada Ara yang kini juga sedang sibuk menangani pasien. Terkadang aku masih merasa kesal, karena penempatan kerja Ara yang terbilang tidak terlalu dekat dengan tempatku bekerja. Membuat kami jarang sekali bertemu untuk sekedar melepas penat.
Langkahku terhenti ketika netraku menangkap visual Ryujin yang masuk ke kawasan rumah sakit dengan tergesa. Aku memanggil namanya.
"Ryujin!"
Gadis berambut hitam sebahu itu sempat kebingungan mencari arah suaraku. Sesaat kemudian, ia menemukanku dan berlari kecil menuju arahku.
"Sunbae. Maafkan aku. Aku tidak menyangka akan mendapat kelas tambahan."
Aku mengangguk.
"Tidak apa. Lagipula Dr. Park sudah siap di tempat kerjanya."Ryujin menghela nafas lega.
"Terima kasih, sunbae."Aku mengangguk dan menepuk pundaknya dua kali.
"Kau harus menjaga semangatmu, calon dokter."Ryujin tertawa kecil. Selanjutnya ia mengucapkan permisi untuk menyusul Dr. Park, sepupu sekaligus mentornya sebagai pendamping dirinya saat belajar. Aku pun kembali melanjutkan langkah saat ia sudah berjalan menjauh. Hingga langkahku terhenti di sebuah halte bus. Aku mengambil kartu pas bus dan segera naik ke dalam sebuah bus yang akan mengantarkan penumpang dengan tujuan yang searah denganku.
Aku duduk di tepi jendela. Memandang jalanan, bangunan, taman dan pepohonan bernuansa musim gugur. Jalanan tidak terlalu ramai siang ini. Beberapa orang terlihat memakai mantel super hangat mengingat angin sempat berhembus mengantarkan suhu dingin. Pertanda musim gugur sebentar lagi berakhir. Tumpukan dedaunan kering terlihat di beberapa sudut taman kota. Terlihat pula pepohonan yang mulai kehilangan daunnya. Pekerja kebersihan terlihat sibuk membersihkan taman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Feeling [✔]jjk
Fanfiction"Sejauh manapun aku kehilangan arah, aku yakin semua jalan ini akan menuntunku kembali padamu." *** Aku baru menyadari, hidupku rumit. Penuh suka duka. Balas dendam. Kebencian. Namun, di tengah itu semua, kami masih mengharapkan akhir yang bahagia...