Maka, disinilah kami sekarang. Duduk berdampingan dengan raut wajah yang jauh dari kata tenang. Telapak tanganku perlahan bergerak menyusuri punggung Ibu Jungkook yang tak hentinya terisak. Air mata seperti terus menetes membasahi pipinya. Menuruni dagu. Tak jauh beda dariku saat ini. Aku bahkan merasa wajahku lengket. Tetapi aku tak terlalu peduli. Aku peduli dengan sosok pria yang tengah berbaring di atas ranjang pesakitan tepat di depanku.
"Aku yakin, Lin. Jungkook anak baik-baik. Aku yakin ia tak memiliki musuh besar sampai berani bermain senjata api."
Kalimat itu beliau sampaikan dengan nada khawatir yang begitu kental. Rasa khawatir yang ku rasakan pasti tidak berbanding dengan apa yang Ibu Jungkook rasakan saat ini.
"Tetapi, bagaimanapun, aku sangat berterima kasih padamu. Kau menyelamatkan Jungkook-ku, Lina. Aku berterima kasih."
Pita suaraku seakan hilang entah kemana. Seperti berat untuk mengatakan sesuatu. Aku hanya mengangguk kecil. Tak bisa menyembunyikan rasa cemas sekaligus bersalah dan sedih.
Sedih. Tentu saja.
Terakhir kali sesuatu yang ku bicarakan dengan Jungkook bukanlah hal yang baik. Benar, bukan? Aku bertengkar dengannya tadi. Tak habis pikir, mengapa kami suka sekali bertengkar?
Aku berdeham untuk memasahi tenggorokanku yang terasa kering.
"Ibu Jeon, aku permisi. Aku akan membelikan sarapan untukmu."
"Tak perlu repot-repot! Duduk saja disini, aku ingin berbicara banyak padamu tentang anakku."
Aku pun mengurungkan niatku untuk beranjak.
Ibu Jungkook bergerak menyamankan posisi duduknya. Sebelum akhirnya tubuhnya sedikit condong menghadap arahku. Begitu pula denganku.
"Aku, Ayah Jungkook, dan orangtuamu sudah dekat sejak kami memutuskan untuk saling menjadi kolega bisnis. Sudah lama sekali, mungkin sekitar enam atau tujuh tahun,"jeda sebentar, Ibu Jungkook menghela nafas.
"Tetapi kupikir kami menginginkan hubungan yang lebih khusus dari hanya sebatas kolega."
Aku masih diam. Menyimak kalimat-demi kalimat yang diucapkannya.
"Kami ingin kau dan Jungkook menikah."
Apakah kalian percaya bahwa nafasku sempat tertahan tepat saat kalimat itu selesai diucapkan?
Jujur saja, aku terlalu terkejut.
"Jungkook itu seorang anak yang baru beranjak dewasa, sama sepertimu. Meski umur kalian hanya terpaut satu tahun, aku jamin sifatmu jauh lebih dewasa darinya."
Benar sekali!
"Aku kerap kali menerima laporan dari orangku bahwa ia melihat Jungkook selalu menghabiskan akhir pekannya dengan gadis yang berbeda setiap bulannya. Tentu saja itu membuatku sangat risih."
Baiklah, aku tidak terlalu terkejut untuk mendegar hal ini.
"Saat ditanya, Jungkook selalu bilang bahwa mereka hanya berteman. Tetapi aku tetap khawatir. Dia sudah memasuki usia dewasa, jadi aku takut hal-hal yang tak ku harapkan akan terjadi begitu saja,"
Ibu Jungkook menghelas nafas lagi.
"Aku pasti akan sangat menyesal jika itu terjadi."
"Aku mengerti perasaanmu sebagai ibu, Nyonya Jeon."
"Nak, berhenti memanggilku seperti itu. Panggil aku 'ibu'."
Aku hanya tersenyum canggung dan mengangguk kecil.
"Aku sangat senang saat akhirnya ia membawa seorang gadis untuk diperkenalkan padaku. Lebih senang lagi ternyata kau adalah anak dari pasangan Min temanku,"
"Maka, aku harap kau dapat mengerti dan mulai membuka hati untuknya. Aku ingin kau menjaganya."
Ah, jujur saja aku tak terlalu suka seperti ini. Terlihat menjadi tanggung jawab dan beban. Tetapi, aku akan mencobanya. Dengan begitu, aku tersenyum dan mengangguk. Ibu Jungkook pun menyambutku dengan pelukan.
***
Dua bulan berlalu. Jungkook sudah dipulangkan dan melanjutkan perawatan serta pemulihannya di rumah. Meski kerap kali dokter datang karena Ibu Jungkook yang terlalu sering meneleponnya jika melihat Jungkook kesakitan, meski hanya meringis. Tentu saja aku paham karena memang seperti itulah ibu.
Namun, hari ini ada yang berbeda. Dokter ataupun utusannya tidak bisa datang untuk mengganti perban serta memberi antiseptik. Sehingga disinilah aku berada. Di atas ranjang Jungkook yang berseprai merah.
Jungkook yang masih meringis kesakitan dengan jemarinya meremat seprei kasurnya hingga buku jari memutih. Sedang diriku tengah mati-matian berusaha keras untuk berhati-hati saat meneteskan obat antiseptik pada lukanya.
"Pelan,"tegur Jungkook lagi.
Aku mendesis.
"Kau tenanglah agar pengobatanmu cepat selesai."
Setelahnya, aku memasangkan perban dengan lebih hati-hati.
"Sudah selesai. Apa masih terasa sakit?"
Jungkook menghadapkan tubuhnya padaku seraya netra yang menatapku dengan binar mata indahnya. Ia mengangguk dan membentuk ekspresi wajah merengut namun manja. Aku memutar mata dengan malas dengan sebelah tanganku mencubit pipinya.
Setelahnya, segera ku bereskan peralatan dan obat itu dan ku letakkan di tempatnya. Tak lupa untuk segera mencuci dan menetralisir tanganku.
Aku dapat merasakan Jungkook yang berdiri tepat di belakangku saat diriku tengah mencuci tangan di wastafel. Lancang sekali ia dengan meletakkan dagunya pada pundakku. Bersandar layaknya anak kecil yang menginginkan sesuatu dari ibunya.
"Ada apa?"tanyaku lantas mengeringkan tangan.
"Seminggu kedepan, kau libur bukan? Maksudku hampir tak ada kelas tiap harinya, bukankah minggu depan adalah masa-masa sibuk dosen untuk mempersiapkan sidang wisuda?"
Aku berbalik. Mendapati dirinya yang masih bertelanjang dada. Ia begitu tinggi hingga wajahku tepat berada di depan lehernya saja. Sedikit saja ia memajukan tubuh, bibirnya dapat mengecup keningku dengan mudah.
"Ya, mungkin. Tetapi aku lebih memilih untuk belajar menyusun skripsi dan proposal penelitian. Hitung-hitung aku sudah mempersiapkan wisudaku tahun depan secara baik."
Jungkook mendecih.
"Membosankan."
"Kau saja yang terlalu pandai sehingga dengan mudahnya meremehkan hal kecil. Aku tak bisa santai, Jungkook. Semua harus ku persiapkan dengan baik."
Jungkook menatapku lagi, seakan mengintimidasi.
"Tetapi aku ingin menghabiskan waktu denganmu."
Aku menghela nafas.
"Tidak bisa, Jung. Aku—"
"Ayolah,"mohonnya seraya membingkai wajahku dan mengecup bibirku berulang kali.
Dengan begini, mana mungkin sih aku tak bisa tersenyum konyol?
"Hanya seminggu saja."
Aku mengerling dan tersenyum.
"Baiklah, anak manja,"ucapku.
Jungkook mengernyit tak suka. Membuatku semakin terkekeh melihat ekspresinya.
"Aku tidak manja,"sahutnya.
"Ibumu sendiri yang bilang padaku."
"Terserah, yang penting kita akan berlibur satu minggu penuh!"ucapnya seraya menunduk dan kembali menghujaniku dengan ciuman.
***
Ada work baru nih, ff Taehyung, genre : angst romance action
Publish kapan maunya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Feeling [✔]jjk
Fanfiction"Sejauh manapun aku kehilangan arah, aku yakin semua jalan ini akan menuntunku kembali padamu." *** Aku baru menyadari, hidupku rumit. Penuh suka duka. Balas dendam. Kebencian. Namun, di tengah itu semua, kami masih mengharapkan akhir yang bahagia...