Tears

1.7K 259 33
                                    

Aku memandang jauh ke depan. Tubuhku mematung di balik sebuah pohon di tengah pemakaman. Tubuh ini terasa semakin lemas saat melihat peti kayu itu diturunkan ke dalam liang. Semua orang di sana berpakaian sama denganku. Pria dengan jas hitam dan wanita dengan gaun hitam. Mereka menangis setelah pendeta merapalkan sebaris doa. Aku tak bisa lagi menahan tangis.

"Selamat jalan, Wonwoo. Terima kasih."

Hanya kalimat itu yang bisa ku ucapkan di sela tangis. Aku tak memiliki cukup keberanian untuk datang mendekat. Aku hanya mampu melihat proses pemakaman sahabatku dari jauh. Aku tak sanggup melihat dalamnya kesedihan yang keluarga Wonwoo rasakan.

Peti itu sudah diturunkan sepenuhnya. Petugas pemakaman pun menutup liang dengan tanah. Tangis terdengar semakin jelas saat tanah sudah mengubur peti kayu itu dari dunia luar dengan sempurna. Namun mereka cukup kuat untuk meletakkan berbagai macam rangkaian bunga di depan nisan batu berukirkan nama, tahun lahir dan tahun meninggalnya Jeon Wonwoo. Tanganku terasa kosong karena aku menyadari bahwa aku tak membawa satupun rangkaian bunga sebagai pemberian terakhirku pada Wonwoo, selain doa, tentu saja.

'Jangan menangis terus, nuna.'

Satu per satu memoriku bersama Wonwoo terlintas begitu saja tanpa hambatan yang berarti. Bagaikan awan yang membiarkan hujan turun dengan kehendaknya.

'Apa kau menyukai bunga lili? Aku memiliki beberapa bunga lili untukmu. Memang tidak banyak, tetapi ku harap kau berhenti bersedih untuk hari ini saja.'

Aku sangat mengingat hari itu. Hari saat Wonwoo memberiku sebuah rangkaian bunga yang berisi tiga tangkai bunga lili putih yang diikat pita berwarna biru. Sampai saat ini, bunga itu masih tersimpan di kamarku. Layu dengan mahkota bunganya sudah menguning, bahkan beberapa sudah berubah warna menjadi coklat.

'Aku berharap aku bisa pergi berlibur denganmu,' ucap Wonwoo.

Aku berbalik dan menatap Wonwoo dengan senyum. Masih dengan posisi berjalan mundur, aku membalas ucapannya.

'Itu ide yang bagus.'

Wonwoo tersenyum. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aku menatap wajahnya. Sepertinya aku tak akan pernah bosan. Maksudku, jika dia tersenyum dan sedang memakai kacamatanya, apa sih yang bisa menarik perhatianku selain senyumnya?

Namun wajah itu tiba-tiba berubah panik dengan pandangan yang tidak ditujukan untuk wajahku. Aku mengernyitkan dahiku dan menoleh ke belakang. Alih-alih aku dapat melihat apa yang membuat Wonwoo panik, sebuah tangan justru menarik tanganku hingga tubuhku jatuh di pelukan si pemilik tangan dengan mudah. Siapa lagi kalau bukan Wonwoo?

'Ada apa?' tanyaku.

'Kau hampir terkena bola basket.'

Perhatianku dari memori yang terlintas teralih begitu saja saat terdengar gemuruh dari langit. Aku mendongak mendapati betapa gelapnya warna langit. Aku tidak tertarik untuk kembali pulang. Mataku kembali tersapu jauh ke depan. Hanya ada beberapa orang yang tinggal karena belum puas menangisi kepergian Wonwoo. Aku mengenali mereka adalah ibu angkat dan saudari angkat Wonwoo. Ingatanku tentang bagaimana Wonwoo mengenalkanku pada keluarganya melintas.

'Hai! Kau teman Wonwoo oppa?'

Aku mengangguk.

'Kau tau, oppa sering sekali menceritakan pada kami tentang dirimu. Setiap hari sepanjang libur musim panas. Kami sampai bosan mendengarnya.'

Aku melempar pandangan ke arah Wonwoo. Ia terlihat malu dengan pipinya yang bersemu madu.

Aku tersenyum. Namun meski begitu tangis masih belum bisa berhenti. Hingga beberapa lama kemudian, satu per satu keluarga Wonwoo pergi. Aku masih berdiri di posisi yang sama dan menatap jauh makam Wonwoo. Perlahan aku memantapkan hati untuk berjalan mendekatinya. Cukup jauh hingga aku harus melewati berpuluh-puluh nisan.

Endless Feeling [✔]jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang