Weak

1.6K 280 11
                                    

"Ara, aku tak yakin jika aku bisa menghadapi apa yang akan ku hadapi nanti. Temani aku, ya?"

Kim Ara mengernyit menatapku.

"Sebenarnya ada apa?"tanyanya.

Aku mengalihkan pandangan dan menggeleng.

"Aku tak yakin. Pasti ada sesuatu."

Dapat ku dengar jelas Ara menghela nafas. Ia merangkul pundakku.

"Baiklah. Aku ikut denganmu."

Kami pun berjalan keluar dari kawasan Rumah Sakit Universitas Yongsan, tempat Ara bekerja. Tak sampai lima menit, kami sudah sampai di halte bus yang terletak tak jauh dari sana. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk mendapatkan bus dengan jurusan yang mengarah ke tempatku bekerja. Kami berdua pun segera masuk ke dalam bus setelah sebelumnya menggesekkan kartu pass.

Pikiranku tidak bisa enyah dari kemungkinan buruk yang akan terjadi. Entahlah, firasatku selalu mengatakan seperti itu. Sekarang ini sangat sulit bagiku untuk berpikir jernih setelah semua yang terjadi padaku.

"Hei, cobalah untuk tenang. Semua akan baik-baik saja."

Ucapan Ara membuat kepalaku menoleh padanya. Aku menatap tepat pada matanya. Dalam hati mengagumi bahwa selama ini aku memiliki sosok sahabat yang sangat ahli dalam memenangkanku. Ia pernah bilang bahwa mungkin aku adalah sosok adik perempuan yang sangat ingin ia miliki. Begitupun aku sekarang. Aku sudah menganggapnya sebagai kakak.

"Kau tau, terkadang kau terlihat menyebalkan,"ucapku.

Ara mengernyit.

"Kau selalu bisa tenang dalam situasi apapun, dan aku benci caramu yang selalu berhasil menenangkanku dengan mudah."

Ara tertawa kecil.

"Aku pernah menghadapi situasi yang lebih sulit dari ini."

Aku terdiam.

"Bisa dibilang dulu, saat pertama kali aku berusaha bertahan bersama Taehyung, adalah masa yang selalu sulit bagiku."

Aku mendengarkan.

"Tenang adalah kunciku untuk menyelesaikan persoalan. Meski keadaan sudah kacau, setidaknya biarkan pikiranmu tenang. Biarkan otakmu mencerna dengan benar apa masalah yang menimpamu, sehingga kau bisa menemukan jalan keluar dengan baik. "

Aku menatapnya.

"Tetapi, akhirnya kalian bisa bersama, bukan?"sahutku.

Ia mengalihkan pandangan dan mengangguk.

"Kurang lebih."

Kami kembali terdiam. Tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Namun, aku merasa ada sesuatu yang Ara ingin katakan padaku. Sesuatu seperti rahasia yang sudah ia simpan sejak lama. Aku sudah merasakannya sejak dulu. Aku selalu menunggunya karena mungkin ia menunggu waktu yang tepat untuk bicara.

Tetapi, haruskah menunggu lama baginya untuk bicara denganku yang merupakan teman, atau mungkin kalian bisa menyebut kami sahabat, yang sudah bersama selama hampir enam tahun? Mungkin semuanya adalah tentang waktu dan privasi.

Aku tidak punya hak untuk memaksanya berbicara.

Selanjutnya tidak ada perbincangan antara kami berdua. Entah karen kami kehabisan topik atau karena situasi seperti ini tidak menungkinkan kami mengobrol banyak hal. Hingga akhirnya kami sampai di tempatku bekerja.

Ara bersikeras untuk tetap menunggu di ruang tunggu yang terletak tak jauh dari ruanganku. Ia ingin menghargai privasiku. Aku pun hanya menurut. Lagipula dirinya merupakan dokter dari rumah sakit lain.

Endless Feeling [✔]jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang