Setelah mendengar semua penjelasan dari Yoongi, tujuan utama yang langsung terpikir olehku adalah ruang kerja Ara. Langkahku cepat menuju ruang kerjanya. Semua emosi sudah menguasai diriku dan nyaris tak bisa ku tahan lagi.
Aku memang harus meminta penjelasan padanya. Namun, kini semua masuk akal bagiku. Alasan mengapa ia selalu terlihat menyembunyikan sesuatu dariku. Alasan mengapa ia terasa semakin menjauh dariku. Alasan mengapa ia sering terlihat membicarakan sesuatu dengan Jungkook, namun mereka selalu menyembunyikan topik yang mereka bicarakan dariku.
Karena semua ini berkaitan denganku.
Ara ingin aku menjadi sahabatnya karena ia hanya merasa kasihan padaku. Ia tau seharusnya dirinyalah yang ditugaskan untuk membunuhku. Namun, ia mengambil keputusan yang berbeda. Ia ingin terlihat baik di depanku. Ia ingin melindungiku hanya karena ia merasa iba melihatku, gadis tanpa orangtua kandung, target pembunuh sadis, dan pribadi yang begitu introvert. Persahabatan yang kami jalani selama enam tahun ini bukan berdasarkan perasaan saling menemani. Namun, hanya sebuah sentimen bernama iba.
Menyedihkan.
Ya, aku yang menyedihkan.
Aku selalu berpikir bahwa Ara adalah sahabatku. Sahabat yang selalu mengerti bagaimana keadaanku. Sahabat yang selalu menemaniku karena ingin. Bukan hanya karena ia merasa kasihan padaku. Aku tidak suka orang lain mengasihani diriku tanpa alasan yang jelas. Tragis karena Ara termasuk 'orang lain' itu.
"Bagus. Bukankah seharusnya kau sudah membunuhku enam tahun yang lalu?"
Ara menatapku bingung. Ia beranjak dari kursi kerjanya dan menghampiriku.
"Apa maksudmu, Lin? Aku tidak mengerti.""Yoongi sudah menceritakan semuanya."
Dapat kulihat jelas raut wajah Ara yang berubah. Kerutan di keningnya menghilang. Matanya menatapku dengan rasa bersalah yang besar.
"Sekarang saatnya kau mendengarkan penjelasanku,"jawabnya.
Aku tertawa ironi dan melipat kedua tanganku di depan dada.
"Semua sudah jelas bagiku. Aku selalu merasa kau menyembunyikan sesuatu, dan benar. Kau memang memiliki banyak rahasia. Tetapi betapa menyedihkan karena rahasia itu semuanya berkaitan denganku."Ara menghampiriku dan mencoba menggenggam kedua tanganku. Namun, emosi ini sudah menguasaiku, aku menepis tangannya.
"Kau tidak boleh seperti ini, Lin. Kumohon. Setidaknya dengarkan penjelasan dari semua pihak, jangan hanya kau dengarkan penjelasan dari Yoongi saja."
"Lalu apa? Kau ingin meminta maaf? Sudah terlambat, Ara,"tukasku.
"Terlambat enam tahun."
Ara menatapku nanar. Aku tau, ia sangat merasa bersalah padaku karena ia tak memberitahuku semua ini sejak dulu.
"Aku tidak bermaksud untuk merahasiakan semuanya darimu, Alina."
Aku menggelengkan kepalaku.
"Mengapa kau melakukan semua ini padaku, Ara? Kukira kau sahabatku."Ara melangkahkan kakinya menghampiriku.
"Aku sahabatmu, Lina. Aku yang paling mengerti dirimu. Aku lakukan semua itu agar kau tak pernah merasakan apa yang ku rasakan."Aku terdiam. Aku menatap matanya yang terlihat berkaca-kaca. Tatapannya menunjukkan rasa bersalah yang begitu dalam. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan atas kesalahan yangia lakukan padaku.
"Awalnya ku kira semua akan baik-baik saja."
Ia mulai bercerita. Aku tak bisa bereaksi apapun kecuali mendengarkannya.
"Saat itu aku memutuskan untuk menghianati Dark Order karena aku pikir aku bisa melakukan apapun yang lebih baik dari membunuh orang-orang. Aku meninggalkan misi terakhir, yaitu membunuh seorang gadis berumur 17 tahun bermarga Ah."
Napasku tertahan. Aku benar-benar terkejut atas kalimat yang baru saja Ara sampaikan padaku. Ternyata benar bahwa Ara adalah mantan pembunuh. Ara yang selama ini berada di sisiku di kala suka maupun duka, pernah membunuh seseorang. Fakta lain yang mengejutkan adalah aku hampir menjadi targetnya.
Secara tidak langsung, selama ini ia berakting begitu luar biasa. Secara tidak langsung, selama ini ia bukanlah dirinya yang sebenarnya di sampingku.
"Aku memutuskan untuk datang ke Seoul, melanjutkan hidupku, melupakan masa lalu yang begitu suram. Aku memilih ilmu kedokteran, agar aku bisa menyelamatkan nyawa banyak orang."
Ara tertawa menyedihkan di sela air mata yang mulai mengalir. Suaranya terdengar goyah.
"Mengapa? Kau pasti sudah tau jawabannya,"ucap Ara dengan nada yang terdengar rendah diri.
"Karena aku dulunya adalah seorang pembunuh,"lanjutnya.
Ia berbalik dan terlihat menyeka air matanya.
"Setahun kemudian, aku bertemu denganmu. Aku harap kau masih mengingat bagaimana kita bertemu."
Aku menunduk.
"Aku menolongmu. Kau hampir tertabrak mobil,"jawabku lirih.
Ara yang masih membelakangiku hanya mengangguk.
"Saat semua orang tak peduli dengan keadaan sekitar, hanya kau yang peduli untuk menyelamatkan diriku, Lin."
Aku hanya terdiam.
"Sejak saat itu kita bersahabat. Kita berbagi tawa. Berbagi tangis. Berbagi cerita. Hingga kau menceritakan padaku mengapa kau lebih suka dipanggil Alina atau Ah Lee Na, daripada dipanggil dengan nama dari margamu saat ini. Kau menceritakan padaku bahwa kau mengalami kecelakaan saat umurmu 7 tahun, yang menyebabkan kedua orangtuamu meninggal dunia."
Ara berbalik.
"Aku menyadari bahwa gadis yang menjadi target dari misi terakhir Dark Order adalah dirimu."
Aku mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan mataku yang mulai berair.
"Aku bukannya merasa kasihan padamu karena kau tidak memiliki keluarga kandung di dunia ini, Lin. Alasanku lebih dari itu."
Aku berdeham untuk menjernihkan suaraku.
"Mengapa kau begitu yakin bahwa aku adalah gadis yang seharusnya kau bunuh?"tanyaku.
Ara menghela nafas sebelum menjawab.
"Kecelakaan itu ada karena pemimpin Dark Order saat ini membalas dendam. Ia membunuh kedua orangtuamu karena ayahmu telah membunuh pamannya."
Aku menggeleng.
"Ara, aku ingin mengerti semua ini. Tetapi, aku tidak bisa."
Ara mengangguk.
"Aku mengerti. Kau pasti sangat membenciku sekarang,"ujarnya.
"Apa kau tau siapa pemimpin Dark Order saat ini?"tanyaku.
"Apa kau mencoba ingin membunuhnya?"
Ara menggeleng.
"Kau tidak akan berhasil."
"Katakan saja siapa dia, Ara."
Ara menatap mataku dalam.
"Dia adalah kakakku, Lin."
Kalimat itu bagaikan panah yang menusuk jantungku. Terasa begitu perih.
"Kakakku adalah orang yang membunuh kedua orangtuamu, karena ayahmu telah membunuh paman kami."
Aku terdiam membatu. Kalimat itu menyambar telingaku bak petir yang bergemuruh di kala teriknya siang. Terdengar begitu menyakitkan karena begitu jelas betapa Ara menyembunyikan semuanya tentangku begitu rapi. Hingga aku tak pernah sekalipun curiga dengannya. Rasanya aku ingin berteriak dan menangis sekerasnya. Namun, sesaat kemudian, aku memutuskan untuk pergi setelah mengucapkan beberapa patah kata.
"Jadi selama ini aku berteman dengan adik dari seseorang yang telah membunuh orangtuaku?"
Aku tersenyum miris. Mataku menghujam netranya. Tak peduli dengan kilau di mata Ara yang menunjukkan bahwa sebentar lagi tangis akan turun.
"Aku harus pergi. Selamat tinggal."
Adalah kalimat terakhirku sebelum aku beranjak pergi meninggalkannya.
***
Gimana gimana?
Komen ayo komen biar rame.
Hujat saya ayo
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Feeling [✔]jjk
Fanfiction"Sejauh manapun aku kehilangan arah, aku yakin semua jalan ini akan menuntunku kembali padamu." *** Aku baru menyadari, hidupku rumit. Penuh suka duka. Balas dendam. Kebencian. Namun, di tengah itu semua, kami masih mengharapkan akhir yang bahagia...