Sekarang aku disini. Di ruangan dengan dominasi warna merah ini lagi. Masih dengan perasaan canggung. Aku masih duduk di meja belajar Jungkook, mengerjakan tugasnya. Sementara itu Jungkook malah asyik bermain Overwatch. Tetapi entah mengapa aku merasa, ada yang ingin ia sampaikan padaku. Buktinya, berkali-kali aku menangkap basah ia yang meghadap ke arahku, menatapku, dengan bibir yang sedikit terbuka. Seperti ingin mengucapkan sesuatu. Aku masih menunggu, tetapi ia tak kunjung mengatakan sesuatu padaku. Bahkan sepertinya ia tidak memiliki niatan untuk meminta maaf atas kekacauan dibawah tadi. Ya, memang bukan kesalahannya sepenuhnya, tetapi tetap saja!
"Ah, dua puluh soal lagi selesai,"gumamku sembari menggulir jawaban per jawaban untuk tugasnya. Memastikan tidak ada kesalahan ketik sedikitpun.
"Cepat juga kau mengerjakannya,"tanggapnya masih dalam fokus memandang layar yang menampilkan game di depannya.
Aku menengok ke arahnya. Mencoba menahan diriku untuk tidak mencekiknya. Pun setelah memandang wajahnya yang memang tampan itu, aku mengalihkan pandanganku ke langit-langit kamar sembari mengistirahatkan punggungku dengan menyenderkannya ke sandaran kursi. Mencoba rileks, namun akhirnya sadar, ini sudah hampir pukul 10 malam. Yoongi belum menghubungiku. Ah, anak itu, apakah ia sudah makan malam?
Aku memutuskan untuk meneleponnya.
"Yeoboseo?"
"Oppa? Sudah makan malam?"
Bisa kudengar jelas tawa kecilnya di seberang telepon sana.
"Kau meneleponku hanya untuk mengingatkan makan malam?"
Aku terkekeh, "Aku sangat tau dirimu. Kau hanya akan makan saat kau ingin. Tetapi tetap saja kau harus makan teratur."
"Aku sudah makan. Kebetulan Jimin dan Hoseok membawa menu drive-thru dari restoran cepat saji kesukaan kita. Yah, kutebak, setelah itu mereka pasti akan meminta tolong sesuatu padaku."
Aku tertawa kecil.
"Baguslah. Kalau begitu, aku tutup dulu-"
"Tunggu."
Aku yang akan menyentuh tanda merah untuk memutuskan sambungan pun urung melakukannya.
"Ada apa?"
"Kau sendiri bagaimana? Jangan bilang temanmu itu tidak membiarkanmu makan malam sama sekali."
"Tentu saja. Aku bahkan makan malam bersama keluarganya."
"Baguslah. Sekarang tutup teleponnya."
"Hm. Aku akan pulang besok pagi. Selamat malam, Yoongi."
"Selamat malam, Min Lina."
Dengan begitu aku memutus sambungan telepon kami. Aku pun menaruh ponselku ke meja belajar dan mengistirahatkan mataku. Ah, rasanya pegal sekali. Aku meregangkan kedua tanganku dan memutar punggungku, mencoba melepas rasa pegal yang menghinggapi tubuhku beberapa saat yang lalu. Setelahnya aku menyandarkan tubuhku lagi hingga mataku terasa berat. Kantuk itu semakin memberatkan mataku. Setelahnya mataku terpejam.
***
Aku terbangun karena suara alarm dari sebuah ponsel. Awalnya aku kira itu hanya sebuah mimpi, namun alam bawah seperti menyuruhku untuk segera terjaga. Aku mengangkat kepalaku. Terakhir kali, aku ingat aku tertidur di meja belajar Jungkook. Namun kini ternyata aku tertidur di sebuah ranjang bersama seseorang yang memelukku dari belakang.
Tunggu.
Aku menengok dan mendorongnya menjauh dariku begitu sadar siapa dia. Ya, kalian pasti tau. Dia itu si Jeon-brengsek-Jungkook. Aku terduduk bersila dan mengusap wajahku yang agak berminyak. Ah apakah semalam dia mengangkat tubuhku dan membaringkannya disini? Atau dia menyeretku? Atau aku sendiri yang berjalan ke tempat tidurnya yang muat untuk 4 orang itu?
Ah. Aku sangat benci jika ada sesuatu yang sudah mengusik detik pertama hariku setelah aku terbangun dari tidurku. Seharusnya pikiranku merasa nyaman dan tubuhku terasa segar setelah sudah beristirahat semalaman. Ya, seharusnya begitu. Tetapi sepertinya itu tidak berlaku jika diriku terbangun bersama seorang Jeon Jungkook. Aku jadi semakin membencinya. Sungguh.
Tiba-tiba sebuah tangan melambai di depan wajahku. Aku menatap pemilik tangan itu dengan tajam.
"Ah, kau sudah bangun? Selamat pagi, nona Ah. Ah, tidak, maksudku nona Min. Tetapi sebentar lagi kau akan jadi Nyonya Jeon."
Aku menyeringai.
"Tidak akan pernah."Jungkook terkekeh menyebalkan. Ia turun dari tempat tidur ini dan berjalan menuju kamar mandi yang juga ada di kamar ini.
"Bagaimana tidurmu?"
Aku mendengus dan turun dari tempat tidur sialan ini. Setelahnya entah inisiatif darimana, tumitku justru menuntun tubuhku menuju meja belajar Jungkook lagi. Ah, aku ingat masih sekitar 20 soal yang belum kuselesaikan.
"Lina-ya,"panggilnya dengan nada menegur.
Aku menengok ke arah Jungkook yang tengah menyikat giginya. Terlihat busa dari pasta gigi menyembul keluar dari sudut bibirnya. Aku menatapnya tanpa ekspresi. Oh, atau lebih tepatnya aku sudah kehabisan ekspresi untuk menghadapinya.
"Kau mandi saja, dulu. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang. Tugas itu akan kuselesaikan sendiri."
Oh, sekarang, setan baik mana yang sudah merasukinya. Aku ingin mengucapkan banyak sekali terima kasih pada setan itu.
Aku mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Namun, seperti biasa, bukan Jeon Jungkook namanya jika ia tidak mengganggu hariku sedetik saja. Ia menghalangi jalanku setelah menyelesaikan kegiatan menyikat giginya. Menghalangiku dengan tubuhnya yang terbentuk gagah sempurna. Oke, kuakui tubuhnya sedikit menyeramkan, kupikir. Itu hampir saja membuat wajahku menabrak dadanya. Aku mendongak. Menatap matanya yang ternyata juga menatapku.
"Morning kiss?"
Aku memutar mataku malas, namun buru-buru aku mengalihkan pandanganku. Kurasa wajahku memerah, ya, karena mendadak pipiku terasa panas, dan ya, mengapa juga jantungku terasa berdetak dua kali kebih cepat?
"Tidak,"tukasku.
Tetapi tetap saja. Ia memelukku. Menempelkan hidungnya di pundakku. Aku terdiam. Tak tau apa yang harus kulakukan.
***
Apa si ini gaje, anyway jangan lupa buat vote/komen ya(:
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Feeling [✔]jjk
Fiksi Penggemar"Sejauh manapun aku kehilangan arah, aku yakin semua jalan ini akan menuntunku kembali padamu." *** Aku baru menyadari, hidupku rumit. Penuh suka duka. Balas dendam. Kebencian. Namun, di tengah itu semua, kami masih mengharapkan akhir yang bahagia...