Hari ini cuaca terlihat begitu sedih. Langit gelap. Awan pekat menggantung. Aku melihatnya bagaikan air mata seseorang yang menggenang. Hanya butuh satu kedipan, maka air akan jatuh. Jangan lupakan angin yang berhembus. Tenang tetapi dinginnya menusuk hingga ke tulang.
Aku menutup jendela kamarku. Begitu pula dengan pintu maupun jendela balkon. Penghangat ruangan ku nyalakan. Setelah itu terdiam dan duduk di atas ranjang. Aku menaikkan kaki ke atas ranjang dan menyilangkannya.
"Seperti ada yang kurang,"ujarku.
Aku berusaha keras untuk berpikir.
"Ada yang harus kulakukan. Tetapi, aku lupa apa itu."
Aku pun memutuskan untuk bangkit dan menghampiri kursi yang terletak di samping jendela. Aku duduk. Tanganku bergerak membuka tirai. Kepalaku pun bersandar di kaca jendela. Menatap apapun yang ada di luar sana.
Ingatanku melayang pada saat Jungkook masih ada di sini. Saat itu ia menginap di rumahku. Bilang padaku bahwa mungkin kami harus menghabiskan waktu di rumah saja. Saat ku periksa apakah ia baik-baik saja, ternyata ia sakit. Suhu tubuhnya di atas rata-rata.
Jungkook buruk dalam berakting. Apalagi jika akulah orang yang ia hadapi. Aku bisa dengan mudah membaca gerak-geriknya.
Aku tersenyum getir.
Dalam hati, aku meminta maaf pas diri sendiri karena telah menganggapnya mati. Aku tak bisa. Aku berbohong. Aku tak pernah menganggapnya mati.
Ia adalah orang pertama yang berhasil masuk ke dalam hatiku. Akan sulit mengeluarkannya dalam waktu yang singkat. Mungkin butuh waktu selama sisa hidupku.
Jungkook masih ada.
Terkadang aku merasa ia ada di dekatku, namun kemudian aku ingat bahwa ia sudah pergi ke tempat yang bahkan aku tak tau dimana persisnya.
Tunggu.
Ini dia. Ini yang harus kulakukan. Aku baru ingat aku menerima sebuah kotak dari Jungkook yang ia titipkan pada Kim Ara. Aku sama sekali belum membukanya sejak kotak itu sampai di tanganku.
Aku beranjak dan melangkah menghampiri meja belajar. Aku ingat aku meletakkannya di sekitar sini, tetapi mengapa aku tak kunjung menemukannya?
"Dimana, ya?"tanyaku.
Aku pun membuka satu per satu laci yang terdapat pada meja belajarku hingga akhirnya kotak kecil berwarna merah dengan pita kecil menghias dengan indah itu menarik perhatian. Aku menghela nafas dan mengambilnya.
Aku pun duduk di meja belajarku dan membuka kotak itu. Dalam hati aku berharap ada sesuatu yang dapat menunjukkan alasan mengapa semua ini terjadi.
Aku membukanya perlahan. Mendapati sebuah kotak yang lebih kecil lagi dan sepucuk kertas. Hanya sebuah sobekan kertas yang terlipat tak begitu rapi. Namun, helaian kertas itulah yang menarik perhatianku. Aku mengambilnya dan perlahan membuka lipatan demi lipatan. Takut, seakan kertas itu akan sobek jika sedikit saja aku melakukan kesalahan.
Kertas itu terbuka sepenuhnya. Aku mengernyit mendapati tulisan tangan Jungkook di sana. Ada sebuah titik dimana tulisan dalam kertas itu hampir saja luntur tak terbaca karena tetesan sebuah cairan.
Darah?
Aku pun mulai membaca tulisan dalam kertas itu.
Halo, Min Lina.
Aku sangat menyesal. Aku minta maaf karena tak bisa mencegah semua ini terjadi.
Kau yang terbaik, Lina.
Tetaplah percaya padaku.
Tetaplah tersenyum dan ingatlah bahwa aku selalu ada bersamamu.Untuk benda ini, simpan dan pakailah. Anggap saja kita sudah bertunangan.
Love, Jungkook.
Aku menghembuskan nafas begitu selesai membaca surat pendek itu. Tiba-tiba dadaku terasa nyeri. Sangat sakit hingga tanganku berusaha mencengkeramnya untuk menguatkan diriku. Kertas itu lepas dari peganganku dan jatuh entah kemana. Meninggalkan diriku yang kini menunduk dengan nafas tertahan. Berusaha keras untuk menguatkan diri, namun akhirnya aku merintih saat nafas itu lepas.
Aku memejamkan mata dengan erat. Menangis. Air mata mengalir menyusuri wajahku.
Hanya ini yang bisa kulakukan.
Aku mengaku, bahwa aku lemah dan tidak bisa mengendalikan diri jika menemukan sesuatu yang berhubungan dengan Jungkook. Rasanya terlalu sakit. Sakit dan kecewa. Hancur.
Aku menatap kotak kecil yang lain, yang ku yakini adalah kotak cincin. Perlahan tanganku meraih benda itu. Aku membukanya, dan benar saja. Sebuah cincin emas yang berkilau begitu cantik. Ada permata berwarna merah dan biru di tengahnya. Merah, warna kesukaan Jungkook. Biru, warna kesukaanku. Aku tersenyum dalam tangis.
Ia selalu tau seperti apa sesuatu yang ku suka.
Tetapi tidak dengan semua ini begitu ia pergi. Ia meninggalkan terlalu banyak kenangan yang terlalu sulit untuk dilupakan.
Mengapa mencintaimu terasa begitu sakit? Mengapa mengenangmu terasa begitu pahit? Mengapa melupakanmu terasa begitu sulit?
Aku takut akan dua hal. Karena setiap kemungkinan keberhasilan, pasti meminta cukup nilai untuk dikorbankan. Namun, aku tipe orang yang sulit melepaskan apa yang sudah ku genggam.
Ya, dari sekian juta kemungkinan yang dapat terjadi, aku mungkin hanya takut akan dua hal.
Aku takut, jika aku bertahan di sisimu, maka aku akan terus meminta lebih padamu. Aku akan terbiasa di sampingmu dan akan sangat sulit melihatmu pergi.
Namun, aku juga takut, jika aku melepasmu, kau akan hilang dan kita berakhir begitu saja.
Lalu, bagaimana dengan akhir yang bahagia?
"Kau terlalu memiliki banyak rahasia, Jungkook. Bodohnya aku baru menyadari hal itu akhir-akhir ini."
Aku tersenyum getir seraya memandang cincin berkilau itu di tanganku.
"Kau pikir, sebuah perhiasan bisa menjadi jaminan agar kau bisa mendapat kepercayaan dariku? Terlalu murah, Jungkook."
Aku menggenggam cincin itu erat.
"Aku hanya percaya padamu saat aku melihatmu di sini."
***
/sobbing
Halooooo
Maaf deh maaf.Jungkook nya ngga muncul muncul sih): ayo kita tanyakan pada peta!
😅😅
Tenang tenang tenang.
Dia masih hidup kok.Oh ya, jadi kalo aku bikin spin off, pilih mana dulu nih, Taehyung-Ara or Jimin-Ryujin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Feeling [✔]jjk
Fanfiction"Sejauh manapun aku kehilangan arah, aku yakin semua jalan ini akan menuntunku kembali padamu." *** Aku baru menyadari, hidupku rumit. Penuh suka duka. Balas dendam. Kebencian. Namun, di tengah itu semua, kami masih mengharapkan akhir yang bahagia...