Esok harinya, aku mengunci diriku di kamar. Berdiam diri dengan menikmati dua buah botol soju yang diam-diam kubeli di sebuah bar. Kemarin adalah hari yang berat. Mengetahui fakta bahwa Jungkook meninggalkanku jauh ke luar negeri benar-benar pukulan telak bagiku. Kenyataan itu seperti membangunkanku dari mimpi indahku. Ditambah dengan kehadiran seorang pria bermarga Jeon lainnya.
Kecewa? Jelas. Jika saja Jungkook ada di hadapanku saat ini, aku akan memarahinya hingga habislah suaraku.
Saat ini, aku lemah.
Aku bahkan tak menyadari bahwa ratusan pesan dan puluhan panggilan tak terjawab berkumpul memenuhi notifikasi ponselku.
"Kim Taehyung. Kim Ara. Min Yoongi,"ucapku.
"Apa yang kuharapkan?"tanyaku pada diri sendiri.
Panggilan tak terjawab dari Jeon Jungkook. Mungkin.
Konyol sekali.
Aku memejamkan mata, berusaha menenangkan diri.
"Lina-ya. Jangan konyol. Kau tidak akan mati hanya karena ia meninggalkanmu."
Aku menghela nafas.
"Mungkin kau akan merasa sedikit kesepian, tetapi tak apa. Kau tak akan mati."
Tiba-tiba ponselku berdering. Pertanda seseorang meneleponku. Dengan malas, aku membuka ponselku yang sudah retak sebagian itu.
Nama Min Yoongi terpampang jelas di sana. Ibu jariku menggeser tanda hijau.
"Yeoboseyo? Lina-ya?"sapanya.
"Aku disini,"jawabku seadanya.
"Aktifkan laptopmu. Aku ingin video call denganmu,"ucapnya. Suaranya terdengar lembut.
"Baiklah."
Aku pun beranjak menuju meja belajar dan mengaktifkan laptopku. Setelah itu aku mengaktifkan fitur face-time. Aku pun duduk di depan laptop berwarna putih ini.
"Sudah kau aktifkan? Baiklah. Aku tutup teleponnya. Oke?"
Aku hanya menjawabnya dengan gumaman. Sambungan telepon pun terputus. Mataku terus menatap layar laptop yang menunjukkan tampilan utama fitur itu. Masih belum ada panggilan dari Yoongi.
Tak lama kemudian, Yoongi menghubungiku. Aku segera menyambutnya dan muncullah wajah Yoongi di layar laptopku. Mataku langsung tertuju pada latar belakang Yoongi berupa sebuah ruangan rapi dengan satu set sofa berwarna hitam di ujung kanan. Terlihat pula etalase berisi CD dari berbagai artis idola Yoongi. Aku menebak seratus persen CD itu bertanda tangan artis tersebut. Ada juga beberapa furnitur berbau Kumamon.
Tak sadar, aku sudah tersenyum.
Yoongi masih sama.
"Halo, dongsaeng."
"Hai."
Setelah itu terdiam. Aku hanya menatap wajah Yoongi di layar. Mengagumi betapa tampannya ia. Meski terlihat garis hitam di bawah matanya. Aku menebak, pasti ia banyak begadang karena pekerjaannya.
"Jaga pola tidur dan pola makanmu, Yoongi,"tuturku sembari bersedekap.
Yoongi tersenyum.
"By the way, aku sudah pindah. Aku tidak lagi di Brooklyn."
Aku mengangkat alisku.
"Lalu dimana kau sekarang?"tanyaku.
"Washington. Daerah yang lebih modern."
"Kupikir semua daerah di Amerika itu modern,"balasku.
"Tidak dengan Brooklyn. Penuh dengan gedung tua. Menyebalkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Feeling [✔]jjk
Fanfiction"Sejauh manapun aku kehilangan arah, aku yakin semua jalan ini akan menuntunku kembali padamu." *** Aku baru menyadari, hidupku rumit. Penuh suka duka. Balas dendam. Kebencian. Namun, di tengah itu semua, kami masih mengharapkan akhir yang bahagia...