91. Rumah Sakit

1.5K 136 16
                                    

"Jangan datang kalau kamu masih nunjukin tampang mirismu didepan dia. Bapak butuh sembuh, bukan makin diperparah dengan melihat keadaanmu"

Suara alat rumah sakit dan oksigen membuat perasaanku Berdebar. Rasanya aku yang berada di posisi bapak saat ini.

Dia tertidur, dengan bantuan alat pernapasan. Sesekali jari-jarinya bergerak.

Pak Erte 😫 maafin Im. Maafin Im. Ini kedua kalinya Im berbuat kayak gini. Im keterlaluan, iya kan?.

"Bapakmu gak apa-apa, cuma struk ringan. Jangan nangis" ibu mengelus punggungku pelan.

"Ibu yakin gak bohong kan?, Ini ICU bu"

Ibu mengangguk. "Bapakmu kuat. Perawat tadi bilang kondisi bapak membaik. Tinggal nunggu dokter lagi meriksa. Mungkin nanti malam baru dipindah ke ruang biasa"

Aku menggenggam tangan bapak. Seolah memberi dukungan, aku yakin ini bisa membantu.

"Pak Erte, Im disini. Maapin Im yaa. Im gak apa-apa kok, im gak sedih lagi karena Jerry. Pak Erte harus sembuh, Im janji Im akan lakukan semua keinginan Pak Erte. Apapun. Im akan kuliah, Im akan tunjukkan bahwa Im pintar. Anak Pak Erte harus Sarjana semua kan? Itu impian Pak Erte dulu?. Makanya Pak Erte harus cepat sembuh biar bisa lihat Im sukses"

Ibu memelukku. Ia mencium pipiku menangis. "Aamiin"

"Ih, Pak Erte. Ibu nangis kayak nonton drama India"

Ibu tertawa "Dah, yuk keluar. Gak boleh lama-lama"

Aku mengangguk. Ku cium pipi bapak sebelum meninggalkannya. "Kalo dokter marah lipstik Im nempel, dokternya sekalian Im cium"

"Saya juga mau di cium?"

Duh, sejak kapan ada dokter berdiri disitu?.

🌸🌸🌸

Pak Erte udah pindah ke ruang biasa. Dalam satu kamar ada lima orang. Lalu akhirnya dipindah ke ruang VIP karena keluarga besar datang semua menjenguk. Termasuk deh masyarakat satu erte jengukin.

Dia udah sadar, udah bisa ngomong. Cuma kaki dan tangan kirinya masih kaku. Dokter bilang untuk sementara waktu bapak harus pake kursi roda.

"Make Upmu norak banget dek" bisik kak Rahima ketika kami mendampingi dokter melihat kondisi bapak.

"Kakak bilang aku gak boleh terlihat menyedihkan"

"Tapi gak menor juga keles. Kayak mau kondangan"

"Biarin dah"

"... Harus banyak senyum, fikirkan yang senang-senang. Bapak gak apa-apa, keluar dari rumah sakit sudah bisa ikut lomba lari"

Si dokter becandanya garing banget.

"Terimakasih dok" ucap bapak pelan. "Saya bahagia, anak-anak sudah ngumpul"

Dokter itu mengangguk "Oh, ini yang di cari itu ya?" dokter menunjuk dengan tatapan ke arahku.

"Iya dok, yang paling bandel" celetuk kak Rahima.

"Nggak, nggak bandel" dia tersenyum menatapku "Baik anaknya, sayang sama bapaknya. Woo, saking baiknya saya dapat ciuman loh" dia tertawa.

Ih, dokter gondes.

"Tapi belom saya terima"

"Terima aja dok. Lagi kosong tuh. Lamar sekalian kalo dokter masih single"

Ih, ibu norak banget.

Mereka tertawa sampe ke bapak juga ikut tertawa.

"Becanda Im. Yaudah, saya pamit keluar dulu ya pak. Semangat untuk sembuh" dokter itu menepuk pelan bahu bapak sebelum meninggalkan kami diikuti perawat yang mengekor sejak datang.

Aku duduk disamping tempat tidur Bapak. "Pak Erte"

"Hm"

"Gimana rasanya bernafas pake tabung oksigen?"

"Senang dong. Jadi orang kaya yang oksigen untuk nafas aja dibeli"

Aku cekikikan.

"Nah, kamu. Gimana perasaannya sekarang?"

Aku tersenyum "Baik, baik banget kok. Pak Erte sehat, bisa bercanda, Im senang banget"

"Jerry?"

Aku menelan ludah.

"Ada gak ada Jerry, hidup harus terus berjalan. Ya kan?, ya dong"

"Nak, Percaya saja sama Allah. Kalau kalian jodoh, mau kamu di sini Jerry di Afrika sana pun akan bisa ketemu. Tapi, boleh berharap asal jangan berlebihan. Kalau dia bukan jodoh kamu, itu pasti akan menyakitkan. Gak boleh nyesal berlebihan. Siapa tau, ini jalan yang Allah kasih biar kamu jadi lebih baik lagi"

Seharusnya mudah move on mengingat Jerry yang selama ini gak pernah benar-benar cinta padaku.

"Siapa tau perginya Jerry merupakan awal datangnya pujaan baru. Dokter tadi mungkin" Ih, kak Rahima nguping. Udah nguping nyeletuk sembarangan.

"Apaan sih?, dokter itu udah punya istri, punya anak"

"Tau dari mana?, sotoy"

Sotoy pula katanya. Tampang kayak Om-om gitu mau dijomblangi sama aku. Walaupun terlihat kharismatik, dia gak bakal mau sama aku. Aku ini siapa? Gak ada apa-apanya. Jerry aja_

"Oi, Im. Sini" Fani yang baru datang langsung keluar melambaiku diambang pintu.

"Sini aja"

"Sini cepat. Nanti nampak Kak Rahima"

"Rahasia apaan sampe nggak boleh kakak tau?" kak Rahima senewen.

Aku buru-buru menghampiri Fani yang menghilang dibalik pintu. Kalo kak Rahima kepo, parah urusan.

Jauh kami berjalan hingga akhirnya duduk di kursi tunggu apotek.

"Tangan" Ia merogoh tasnya

"Mau ngasih duit?, gak usah suami kak Rahima yang bayar rumah sakit"

"Kasih je tangan tu, bukan nak bagi duit" dia menarik tangan kananku lalu meletak sesuatu di telapak tanganku.

"Cincin?"

Cincin bermata hijau persegi empat yang dikelilingi permata kecil disekelilingnya dan di lingkar cincinnya.

"Punya siapa?"

"Koko"

Apa?

Miss Raim and Her Bro~ndong ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang