96. Akhir

2.4K 132 6
                                    

🎵Tak mungkin karena sayang, hanya kadang kala aku terkenang.

Ya, aku hanya terkenang.

Kamar kos Jerry masih seperti biasa. Tidak mungkin itu dia. Kalau iya, dia pasti sudah balik ke sini.

"Udah 2 minggu kakak gak kesini" Niko berdiri diambang pintu membawa mug. "Kuliah gimana?, maaf ya aku sibuk skripsi. Bimbingan lebih sering di UnTel (Unja Telanai). Coklat kak"

Aku menyambut mug itu "Makasih" menyeruput coklat hangat itu pelan "Ko, Apa Jerry sudah pulang?"

"Koh Jerry?" dia nanya balik "Kak, kakak gak balik kayak dulu lagi kan?. Kalo Koh Jerry pulang, pasti saat ini dia udah ada disini. Trus, anak-anak kampus pasti heboh di grup kalo dia ada"

Aku mengangguk, "Aku berhalusinasi lagi. Udah lama gak seperti ini tapi akhir-akhir ini dia datang lagi"

"Kakak Rindu atau saat ini sedang banyak fikiran"

Aku mengangkat bahu. "Gimana skripsi?"

"Ah, yang susah bukan skripsinya, nemuin dosennya. Udah kayak buronan" Niko mendengus kesal.

Aku tertawa, bukan karena Niko lucu. Tapi karena aku sudah nyambung ketika bicara masalah kuliah.

"Dah, aku mau istirahat. Makasih coklatnya" aku menutup pintu dan menguncinya.

Hh, kamar Jerry.

Kasur dengan bed cover coklat, meja bulat karpet bulu panda, dinding berwarna karbit. Yang berubah hanya dinding yang dipenuhi oleh sticky note, tulisanku.

Setelah hampir setahun, aku masih bisa mencium aroma khasnya.

Aroma khas Jerryku

Entah apakah dia masih pantas kusebut seperti itu.

🌸🌸🌸

"Tante Ibu" Lucca berlari menyambutku yang baru datang. "Bawa jajan gak tante Ibu?"

"Ih, udah sore gini belom ganti baju sekolah"

"Dali TK mama gak pulang ke lumah lagi. Langsung kesini" jelasnya menarikku memasuki rumah.

"Dari mana aja Im?" Papanya Lucca ygo duduk di sofa menyapa.

"Kampus"

"Sesore ini?"

Pertanyaan macam apa itu?. Kayak aku istrinya aja nanya gituan. Heuu, Pe-ak!.

"Tadi mampir ke kosan dulu"

"Kosan Jerry itu?" tanyanya selidik.

Aku mengangguk, meninggalkan dia menuju kamar. "Pak Erte mana?" tanyaku saat selisih jalan dengan Kak Rahima dari dapur.

"Lagi solat"

Aku mengangguk, lalu memasuki kamar. Capek banget hari ini. Iya, Niko benar. Kecapean buat aku berhalusinasi berlebihan. Gimana bisa Dosen itu berubah menjadi Jerry.

"Im, kalo sudah selesai keluar. Ada yang mau diomongin" suara Kak Rahima terdengar dari luar.

Serius banget kayaknya.

Setelah meletak tas, mengganti pakaian aku keluar. Ada Pak Erte yang duduk didekat Papa Lucca, Ibu dan Kak Rahima.

"Banyak banget kue, tumben" aku mengambil sepotong brownies sebelum duduk, memakannya.

"Im, tadi Yuni dam Mamanya kemari" cerita ibu.

"Oh, Mama Ina?. Kenapa?"

"Mereka minta kepastian kapan bisa datang melamar"

Uhukk!!

Ap.. Apa ini?.

Mama Ina mau melamar?

Aku?

"Kasih Autis minum nak" Papa Lucca menyodorkan air minum.

"Makanya Tante Ibu kalo makan halus baca doa dulu" dia menyerahkan air itu padaku.

Aku meneguk air minum itu hingga habis. Perasaanku sudah tidak enak dan serasa kalang kabut.

"Ja.. Jadi apa yang_"

"Bagaimana pun, keputusan ada ditangan kamu" Bapak bersuara.

"Tapi" aku menatap wajah mereka satu persatu yang malah serius.

"Buatlah keputusan dek, sampai kapan anak orang kamu gantung kayak gitu terus?. Jaya itu sudah gak muda lagi. Kamu suruh dia tunggu kamu sementara kamu gak ada usaha melupakan Jerry" Kak Rahima emosi.

"Raim, kamu tau" Papa Lucca bersuara "Yang tidak kamu sukai belum tentu buruk untukmu dan yang kamu sukai belum tentu baik untukmu. Kalau Jerry baik, dia tidak buat kamu seperti saat ini"

"Memangnya kenapa Im saat ini bang?" tanyaku kesal. "Oke dulu Im bodoh, gila karena dia. Tapi kini apa yang Im capai masih menunjukkan bahwa Im menyedihkan?. Hah??. Apa salahnya mempertahankan sedikit kenangan tentangnya di hidup Im. Yang penting Im bisa bagi waktu, Im bis_"

"Kamu tanya salah?, ya salah Im" potong Papa Lucca. "Apa kamu sedang berusaha mengerti Jerry?. Lalu, apa pernah kamu mencoba mengerti Jaya?. Kamu bukan saja telah mempermainkan perasaan Jaya, tapi keluarganya"

"Sudah.. Sudah.." Pak Erte melerai. "Nak, yang abangmu bilang itu benar. Tapi balik lagi, semua keputusan di tanganmu. Mamanya Jaya benar, kalau ditunggu lama tanpa kepastian gak baik"

"Kalau sudah tau, kenapa harus nunggu Im yang buat keputusan lagi?" aku meninggalkan mereka ke kamar. Aku kesal, aku marah!. Tapi aku sadar bahwa aku salah karena telah mengikat kak jaya dan gak memberi kepastian.

"Im" itu suara ibu. Ia mengelus punggungku. Duduk disampingku di tepi tempat tidur.

"Bu, kalau ibu mau marahin Im, pliss jangan sekarang. Im pusing bu"

"Siapa yang mau marahin kamu?"

"Ibu pasti sama dengan yang lain yang nyalahin Im karena masih mempertahankan Jerry. Bu, ini bukan maunya Im. Im sudah coba, Im jauhi semua tentang dia. Tapi tetap aja ingat. Im usaha menganggap semua biasa dan melupakannnya perlahan. Im coba bu. Ibu gak akan ngerti" aku menangis dipelukannya.

"Ibu mengerti dengan sangat baik Im. Ibu tau kamu masih mencintai Jerry. Sesuatu yang kita sukai dengan serius akan sulit untuk dilupakan. Meskipun, orang itu berbuat jahat kepada kita. Tapi, hidup harus tetap berlanjut kan?. Kita melangkah kedepan Nak, bukan kebelakang. Semua sayang sama kamu. Kami ingin terbaik buat kamu. Ada Jaya menunggu didepan. Meski juga kemungkinan kecil ada Jerry. Ibu tau itu yang membuat kamu takut mengambil keputusan. Kamu takut, Jerry datang ketika kamu telah terikat dengan Jaya. Kamu takut perasaanmu terhadap Jaya tidak bertambah dan membuatmu merasa berdosa padanya"

Aku mengangguk "Im takut menyakiti Kak Jaya dan keluarganya bu"

"Maka buatlah keputusan yang bijak. Tau bagaimana caranya?, Istikharah"

Istikharah?

🌸🌸🌸


Miss Raim and Her Bro~ndong ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang