BAB 13

3.6K 162 2
                                    

Pertama, kukira ini hanya perasaanku saja, tapi ternyata bukan.

Sudah beberapa hari ini Tama terlihat aneh. Biar kuceritakan kepada kalian apa aneh yang kumaksud. Tama menjadi...linglung. Dia sering melamun, memandang kosong entah memikirkan apa, dan setiap kali kutanya, dia akan salah tingkah bagai maling ketahuan mencuri kutang dan mengelak.

Apakah bekerja di Indonesia seperti biasanya membuat otak pria itu agak korslet?

Oke, aku tahu perkataanku ini jahat.

Tapi semua ini persis dimulai ketika Tama telat pulang ke rumah karena pekerjaan, dan setelah itu dia menjadi Tama yang semakin ceroboh dan sembrono.

Apa lagi yang bisa mempengaruhinya separah ini kalau bukan karena masalah pekerjaan?

Diam-diam aku merasa sedih. Iya, sedih.

Karena merasa tidak diperlukan olehnya.

Entah kenapa, setiap kali Tama mengelak, kembali aku merasa kecil, merasa tidak pantas untuk berada disisinya. Dia bahkan sama sekali tidak ingin membagi beban dan masalahnya denganku.

Aku menghela nafas lagi.

"Neng, mau galau sampai kapan? Ini gue yang ngeliat lo aja udah mau enek."

Aku memutar bola mata. Bodo amat, sekarang apapun yang dikatakan Mega sudah tidak kuambil hati. Lagi nggak selera berkelakar dengan cewek itu.

"Gue bilangin ya, gimanapun elo mikir, sampe salah masuk toilet laki-laki, jawaban itu nggak bakal turun dari langit."

Perkataan Mega membuatku memelototinya dengan malu. "Bisa nggak sih jangan bahas masalah itu lagi? Suka banget sih lo ngungkit-ngungkit masa lalu, gagal move on baru tahu deh lo ntar."

Memang sih tadi aku bener-bener lagi melamun dan nggak memperhatikan tanda kelamin di pintu toilet dan malah salah masuk.

Tapi nggak usah dibicarakan terus juga 'kan?! Udah malu, kesel lagi.

Image seorang Tavisha anak baik yang cantik, pintar dan manis langsung runtuh di mata publik dalam beberapa detik.

Mega mengibaskan tangannya. "Intinya, kalau dia memang nggak cerita, berarti dia memang nggak mau. Kita ini masih SMA, nggak segampang itu buat masuk ke dunia dia yang udah dewasa."

Aku mengernyit, merasa janggal dengan sebutan 'anak SMA' dan Tama yang 'dewasa'. Sesuatu seperti menyangkut di tenggorokanku.

Sudah beberapa tahun, tapi aku masih saja belum bisa sejajar dengannya.

Tapi...Mega benar. Tahu apa aku soal masalah-masalah yang dialami Tama?

Kalaupun dia cerita, apakah aku akan bisa membantu?

Pret, kuis mate aja lo dapet 3.

Diem akh. Apa hubungannya kuis mate sama Tama?

....nggak ada deh kayaknya?

Yaudah.

Aku menampar pipiku sendiri beberapa kali. Mega sama sekali tidak bereaksi, sudah terbiasa dengan tingkahku yang terlalu banyak macamnya.

Bukan tanpa alasan aku menunggu Tama selama bertahun-tahun.

Masa cuma gara-gara ini aja aku udah pesimis?

Nggak boleh, Tavisha. Ingat tujuan lo, untuk jadi istri yang cantik, baik, pengertian bagi seorang Adhitama Dirgantara. Kalau soal jago masak sih kuserahkan aja kepada Tama, aku mah kalah telak.

Aku tahu tidak semua cerita punya happy ending.

Tapi aku tidak mau membuat ceritaku dan Tama menjadi sad ending. Tidak akan kubiarkan.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang