BAB 6

4.9K 192 3
                                    

"Bagaimana kamu bisa membuat makanan seenak ini, Tama?"

Aku bertanya setelah menghabiskan dua porsi makanan Tama yang super duper lezat. Gawat, bukan hanya terancam diabetes akut, bahkan sekarang aku juga terancam obesitas.

Jam 10 malam makan 2 piring?

Beuh, siap-siap aja besok udah kayak hamil 3 bulan.

Alias menggelendung perutnya.

Tapi aku tidak bercanda. Makanan yang dibuat Tama selalu saja makanan yang simple, seperti daging rempah, sayur cah saus, seafood, semua makanan yang sudah biasa aku temui di setiap restoran dan rumah makan di Indonesia.

Akan tetapi rasanya seperti pertama kali aku mencicipi semua lauk ini.
Ini bukan karena yang memasak adalah pria yang kucintai makanya masakannya terasa sangat enak.
Juga bukan karena aku makan sambil ngeliatin muka Tama.

Pokoknya rasa masakan Tama itu benar-benar khas dan sangat menggambarkan Tama.

Spesial.

Jiaah! Asikk!

Serius, kalau kalian nggak percaya, silakan di coba masakan Tama.

Eitss, tapi jangan ding.

Kalau kalian jatuh cinta padanya gara-gara masakannya yang ultra lezat ini, aku yang akan dibuat repot karenanya.

"Do you have any secret recipe? Like spongebob?"

Tama tertawa terbahak-bahak mendengar celetukanku yang sangat tidak berfaedah. Dengan gemas ia mengacak-acak rambutku, "Stupid." ejeknya.

Aku melototkan mataku dengan kesal.

Tuh 'kan, Tama sering sekali memperlakukanku seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Kapan Tama menyadari kalau aku juga sudah bisa memasuki dunianya?

Melihat wajah kesalku, Tama berdeham untuk menghentikan tawanya. Ia juga menghentikan aktivitas makannya dan meletakkan sendok garpunya diatas piring, melipat tangannya di atas meja dan menatapku dengan tajam.

Seketika aku terkesima.

Baru kali ini aku melihat raut wajah Tama yang seserius ini.

Tama yang selama ini kukenal selalu tersenyum, tertawa, bermain denganku dan memperlakukanku dengan lembut.

Tapi Tama yang ada di hadapanku ini, mungkin adalah Tama yang sebenarnya, Tama yang tidak kuketahui selama 17 tahun ini. Sorot matanya menajam serius, sekujur tubuhnya menguarkan aura mendominasi yang langsung membuatku hampir gagal fokus.

"Tavisha."

"Y-ya?"

"Kamu tahu, memasak bukan hanya sekedar 'memasak', jika hanya mengikuti resep, aku yakin semua manusia di bumi ini juga bisa memasak. Tapi kenapa ada profesi Chef? Apa bedanya dengan ibu rumah tangga yang memasak setiap hari?"

"Apakah masakan mereka enak? Iya. Tapi apakah mereka bisa disebut Chef? Tidak. Kenapa?"

"Kenapa?" beoku.

"Karena Chef tidak mengikuti resep masakan, tapi mengutamakan teknik. Teknik itulah yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Seorang Chef pada dasarnya harus memiliki ikatan emosional dengan makanan. We realized that our ingredients came from our Mother Nature. Kami menghargai bahan makanan seperti kami menghargai harta berharga. Bahan masakan yang kita pilih, teknik yang kita gunakan, perasaan yang kita tuangkan, itulah yang membentuk seorang Chef."

"We imagine foods and bring them to life. Aku kira itulah pekerjaan seorang Chef. Untuk melihat senyum di wajah orang-orang yang memakan masakanku. Perasaan itu benar-benar tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata."

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang