Suara nyanyian burung, dan berkas cahaya matahari yang menembus gorden-lah yang membangunkanku dari tidurku yang amat sangat nyenyak.
Aku membuka mata pelan, mengerang dan mengucek belek-belek yang menempel pada kelopak mataku. Matahari sudah aktif menyinari bumi, padahal jam baru menunjukkan pukul enam kurang sepuluh.
Ranjang yang tak familiar menyambut mataku. Sejenak aku berpikir, kenapa aku bisa tertidur di ranjang Tama?
Ah ya, aku ketiduran pas menonton televisi.
Senyumku terbit membayangkan pria itu yang memindahkanku dengan perlahan kesini sampai-sampai aku tidak terbangun sama sekali.Semalam, rasanya aku bermimpi sangat indah, mimpi yang ada Tama di dalamnya, tapi apa ya? Entahlah aku tidak bisa ingat. Lagipula sudah terhitung ribuan kali pria itu hadir di mimpiku.
Tapi yang semalam rasanya lebih indah.
Aku mengerutkan dahi dalam, berusaha menggali ingatanku tentang wajah Tama yang terlihat samar-samar.Lima detik kemudian, aku menyerah. Sudahlah, bodo amat.
Untuk apa menyusahkan diri tentang sebuah mimpi 'kan?
Aku bangkit dan merapikan tempat tidur Tama, tak lupa menghirup bau bantal Tama yang sekarang sudah terkontaminasi oleh bauku.
Wajar saja, ini pertama kalinya aku tidur di ranjang Tama, karena biasanya, aku akan pulang ke rumahku sendiri dan tidur disana, Tama akan menemaniku sampai aku tertidur, barulah dia kembali ke rumahnya.
Celingukan, aku mencari tanda-tanda keberadaan Tama yang tak sulit kutemukan lantaran ukuran bodinya yang memang melebihi normal.
Rasa haru memenuhiku melihatnya yang selonjoran di sofa, terlihat sangat nyenyak namun tidak nyaman, mungkin karena sebagian besar tungkainya yang menggelantung hingga hampir menyentuh lantai.
Padahal bisa saja dia membiarkanku tertidur di sofanya yang lumayan empuk, tapi dia malah memilih menempatkanku di ranjangnya yang besar sementara dia sendiri tidur di sofa yang 'kecil' ini.
Rambutnya berantakan, terurai ke sembarang arah, tapi entah kenapa masih terlihat sangat seksi di mataku. Ia memakai kaos tanpa lengan yang memamerkan otot-otot lengannya yang kekar.
Seraya menyeringai, aku menghampirinya sambil berjinjit, berusaha untuk tidak menimbulkan suara, meskipun aku tahu badai sekalipun tidak akan pernah bisa membangunkan Tama.
Aku duduk di sampingnya, mengamati wajahnya selama entah berapa menit, mengingat setiap lekuk rahangnya, alisnya, hidungnya, bibirnya, seluruhnya, menyimpannya dalam memoriku.
Tanganku terjulur menyentuh pipinya dengan lembut, Tama masih bergeming. Naik menyentuh alisnya, kelopak matanya, hidungnya, bibirnya, kemudian brewoknya yang menjadi favoritku sekarang.
Aku terkekeh pelan, dan beralih menunduk sembari mendekatkan bibirku pada telinganya. "Tama, bangun."
Tama tidak bergerak.
Bisikanku menjadi agak keras. "Tama."
Masih tidak bergerak.
Kehabisan akal, aku pun mengecup telinga Tama sekilas. "Tama, aku cinta kamu."
Seketika itu, mata Tama membelalak terbuka, dan langsung disambut dengan seringaian lebarku. "Good morning, sunshine."
Aku tidak tahu bahwa mengatakan kalimat itu bisa membuat Tama terbangun langsung. Harus kucoba lain kali.
Tama mengerang pelan dan mengucek matanya sejenak. Iris Tama yang masih bergerak tak fokus perlahan menemukan mataku, dan dia langsung berjingkat menjauh dengan kaget.

KAMU SEDANG MEMBACA
Look At Me ✔
Teen Fiction[Completed] [16+] Lebih dari setengah eksistensi hidupnya dihabiskan seorang Tavisha Kaelyn untuk mencintai Adhitama Dirgantara, duda yang lebih tua tiga belas tahun darinya. Hingga akhirnya Tavisha merasa bahwa cintanya sudah berbalas, ternyata sos...