BAB 14

3.6K 157 3
                                        

Aku mendesis marah setiap kali mengingat kejadian itu.

Itu-yang-lo-tau-apa-tapi-nggak-boleh-disebut.

Nggak sopan banget sih, sembarangan nyium cewek. Bukan sembarangan sih, dia sudah meminta maaf sebelum ngelakuin itu, tapi tetap aja nggak sopan!

Gimana kalo dia ngelakuinnya pas di bibir aku?

Jadinya, batal dong first kiss impian aku sama Tama!

'Kan aku harus menjaga kesucian tubuhku hanya untuk calon suamiku mendatang alias Adhitama Dirgantara.

Dan sekarang aku sudah ternodai gara-gara Adipati kampret.

Aku menghentak-hentakkan kakiku dengan kesal, berniat turun ke dapur untuk mengambil segelas susu dingin coklat untuk meredakan panas di dadaku ini.

Dan amarahku langsung terbasuhkan begitu melihat Tama yang sedang duduk di lantai ruang tamuku sambil bermain PS dengan sangat seru. Bahkan dia tidak menyadari keberadaanku.

Senyumku mengembang. Cepat-cepat aku membuka pintu kulkas, mengambil sekotak susu dingin dan menghampiri pria itu.

Matanya fokus memandang ke layar dan jari-jarinya bergerak gesit di controller. Sekali-sekali dia mengeluarkan geraman rendah karena hampir kalah.

Tama ini...kadang kayak anak kecil deh.

Terkekeh, aku mendekati Tama dan dengan mudah menyelusup ke bawah lengannya dan duduk di tengah kedua kakinya yang terbuka lebar dengan lengannya yang melingkari badanku, masih gesit bermain.

Refleks, Tama menarik badanku ke belakang, lebih mendekat padanya, dan tanpa sungkan-sungkan aku menyandarkan seluruh tubuhku di dadanya, membuat diriku sendiri nyaman. Diletakkannya dagunya di atas puncak kepalaku.

Aku menyesap susuku dengan nikmat sambil mengamati layar televisi dengan bosan. Kenapa pria suka sekali bermain game seperti ini?

Aku tidak mengerti apa yang seru dari bertarung hanya dengan menekan tombol-tombol dengan cepat. Lima menit, dan aku mulai menguap.

Terlalu bosan dan sedikit kesal karena Tama tidak memberi perhatian sedikitpun padaku, aku meletakkan susu kotakku dengan sembarangan di lantai dan berbalik menghadapnya.

Tama hanya melihatku sekilas kemudian kembali fokus ke game.

Cemberut, aku pun semakin mendekat dan melingkarkan kedua lenganku dengan erat di lehernya. Tubuh Tama menegang kaku.

Kenapa, Tama? Sudah berhari-hari, kenapa kamu masih bersikap aneh kepadaku?

Jemariku bergerak menyisir helaian rambut Tama yang sehalus sutera dan semakin panjang. Kutenggelamkan wajahku di lehernya, menghirup aromanya yang sangat kurindukan, dan yang sangat membuatku nyaman.

Smells like home.

Rasanya aku bisa seperti ini, memeluk Tama dan membaui aromanya, selama mungkin. Bagai candu, aku tidak pernah puas akan dirinya. Ingin kulebih dekat lagi.

Tubuh Tama perlahan rileks seraya bersandar ke sofa belakang. Otomatis membuat badanku semakin menempel kepadanya.

Aku bertanya-tanya kenapa aku sama sekali tidak malu--meskipun jantungku berdebar tak karuan--sedekat ini dengan Tama. Pasalnya aku dapat merasakan kedua buah dadaku yang beradu dengan dada bidangnya.

Meskipun begitu, aku tahu Tama pasti tidak merasakan apa-apa.

Ia tidak pernah menyadari bahwa seorang Tavisha yang dulunya cengeng, manja dan selalu mengikutinya kemana-mana sekarang sudah beranjak dewasa, dan hanya bisa melihatnya seorang.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang