BAB 16

3.6K 166 13
                                        

"Tama!"

Aku mempercepat langkahku, berusaha menggapai punggung yang semakin menjauh itu.

"Tama, ini bukan seperti yang kamu pikirkan!"

Tubuhnya berhenti mendadak. Aku mengerem langkahku kira-kira 10 kaki di belakangnya, takut menghadapi aura mengerikan yang baru pertama kali ini kurasakan begitu kental menguar dari tubuh Tama.

Baru kali ini Tama terlihat begitu mengerikan.

Gawat, dia benar-benar salah paham. Tama pasti mengira aku membohonginya, bersenang-senang dengan Adipati dan memberinya alasan bahwa aku belajar bareng Mega.

Padahal bukan seperti itu Tama, sama sekali bukan seperti itu.

"Tama." Aku memulai dengan lembut, takut membuatnya semakin murka. "Tama, look at me."

Dia masih tidak bergerak.

Hatiku berdenyut sakit melihatnya yang bahkan tidak mau menoleh untuk melihatku, semarah itukah dia karena melihat Adipati yang mengantarku pulang?

"Tama, please." mohonku parau.

Sial, bahkan tenggorokanku terasa tercekat untuk berbicara. Aku tidak tahu kalau melihatnya berjalan menjauh dariku ternyata begitu menyakitkan.

"Tama, aku tidak membohongimu, don't be mad at me, I can explain this, I swear."

Aku menggigit bibirku, berusaha untuk meredam isakku akibat air mata yang sudah bercucuran tanpa henti.

Tuhan, ini pertama kalinya Tama semarah ini denganku, biasanya semarah apapun dia, tidak pernah sekalipun ia berjalan menjauh dariku dan tidak mengacuhkanku,

Tama mengerang frustrasi. "I know. I know you are free to do what you want to. Aku-lah yang menjadi masalah disini. I'm sorry, I don't know what's wrong with me, tolong tinggalkan aku sendiri kali ini."

Dia mulai melanjutkan langkahnya.

Tanpa melihatku sekalipun.

Tidak...

Tidak, Tama. Jangan pergi,

Tanpa kusadari, tubuhku berjalan maju, langkahku berderap mengejarnya. Lenganku terbuka, memeluk pinggangnya dari belakang dengan sekuat tenaga.

Aku menenggelamkan wajahku ke punggungnya, meredam isak tangisku disana. Tubuh Tama tersentak, tapi masih terdiam.

Sekuat tenaga aku menahannya untuk tetap berada disini, bersamaku. Karena perasaanku mengatakan, kalau aku membiarkan Tama pergi sekarang, maka semuanya tidak akan pernah sama lagi.

Keheningan-lah yang membungkus kami, dengan aku berdiri memeluknya, memohonnya untuk memaafkanku, dan Tama yang sampai sekarang masih memberikan punggungnya padaku.

Maaf, maaf, maaf.

Hanya itulah yang dapat kukatakan.

Tama mengepalkan tangan dengan erat, terlihat dari urat-uratnya yang menonjol, dan bahunya yang menegang. Aku benar-benar takut, tidak tahu apa yang sedang ada dipikirannya sekarang.

Akhirnya ia mengerang kesal dan berbalik menghadapku.

Hatiku semakin sakit melihat sorot luka dan bingung yang terpancar di matanya saat ini, begitu nyata, dan seluruh diriku ikut merasakan sakitnya.

"Tama..." isakku.

Tama meringis, terlihat setengah menahan sakit dan setengah terkejut melihat betapa berantakannya diriku sekarang. Jemarinya terulur menghapus jejak air mata di pipiku.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang