BAB 44

4.7K 175 6
                                    

thanks buat kalian yg udah nyemangatin gue. it means so much hehe. gue ngerasa jauh lebih baik setelah tidur semaleman

happy reading folks!!

***

Siapa bilang kalau kelas tiga SMA itu masa-masa paling mengasyikkan di sekolah?

Huft, justru sebaliknya, yang kurasakan adalah masa-masa paling menyebalkan dan paling tidak mengasyikkan. Bagaimana tidak? Setiap hari diberi wejangan dari guru-guru, mempersiapkan diri untuk ujian-ujian mendatang, siraman rohani tentang masa depan, konsuling pribadi, dan juga semua les tambahan yang menguras otak, tenaga dan waktu.

Tahun terakhir ini masa paling rawan untuk memutuskan masa depan. Kalau selangkah saja salah memilih, kehancuran sudah menunggu di beberapa tahun ke depan.

Meski sebenarnya aku tidak pernah memikirkan tentang masa depan.

Kayak kata pepatah, live for the moment.

Tapi melihat teman-teman sekelasku yang sibuk belajar untuk persiapan masuk perguruan tinggi, terkadang aku merasa kagum sekali. Mereka punya tujuan yang pasti, dan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan itu, sementara hidupku berada di ambang jelas dan tidak jelas.

Contohnya Mega, dari kelas sepuluh saja dia sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti SBMPTN dengan mendaftar di bimbel terkenal, belajar sedikit demi sedikit, dan sekarang dia sudah tahu jelas kemana tujuannya nanti.

Sementara kerjaanku setiap hari hanya main, makan dan tidur.

Sekali lagi, bukannya aku iri dengan orang-orang ambisius seperti Mega, hanya saja kadang aku berpikir, mau dibawa kemana hidupku ini?

Akan jadi apa aku sepuluh tahun mendatang?

Well, tidak akan ada yang bisa menebak kemana hidup akan membawa kita pergi, bukan? Bisa-bisa saja besok aku menang lotere satu miliar dollar dan hidup enak tujuh turunan, atau bisa-bisa saja aku akan hidup gelandangan.

Intinya, tidak ada gunanya mengkhawatirkan masa depan yang tidak pasti.

Jalani saja semuanya. Dalam kasusku, artinya aku harus belajar mati-matian sekarang, karena sebodoh apapun aku, setidaknya aku harus mempersembahkan ijazah yang baik kepada Papa dan Mama, supaya mereka tidak merasa sia-sia sudah membesarkan anak bodoh seperti aku.

Sebagai anak semata wayang, sudah sepatutnya aku ingin membuat Mama dan Papa bangga punya anak sepertiku.

Jadi tidak berlebihan kalau aku bilang, waktu melesat dengan cepat akhir-akhir ini. Hubunganku dengan Tama membaik, kami tidak pernah bertengkar lagi semenjak insiden Adel--yang benar-benar membuatku sangat malu. Aku bahkan sempat mengunjungi Adel sebelum dia keluar dari rumah sakit dan bercakap-cakap dengannya.

Baru kuketahui, dia pribadi yang menyenangkan. Kukira dia wanita yang anggun dan dewasa, tapi ternyata dia juga punya sisi kekanakan, suka menjahili suaminya--kadang bahkan suaminya dibuat menangis, tapi seperti kata Tama, mereka terlihat bahagia.

Membuatku juga bahagia melihat mereka.

Adel bahkan sempat menggoda Tama tentang hubungannya denganku, yang berakhir pada momen memalukan yang sebaiknya tidak kusebarkan disini. Biar aku, Tama, Adel dan Tuhan saja yang tahu.

Hubunganku dengan Papa Mama juga membaik, mereka sering pulang, meskipun seminggu atau dua minggu sekali, sering menelepon dan menanyakan kabarku, otomatis membuatku lebih sering curhat kepada Mama.

Ya, sekarang aku terbiasa menceritakan semuanya kepada Mama, tidak ada yang namanya malu atau segan, aku bisa menggosip sepuasnya dengan beliau, tentang sekolah, tentang teman, dan bahkan tentang kehidupan percintaanku.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang