BAB 43

4.8K 191 8
                                        

Happy reading!1!1!

***

Akhirnya, hingga pagi menjelang pun, Tama tidak kembali.

Terakhir kali kulihat, jam menunjukkan pukul empat pagi, aku tertidur di sofa ruang tamu, ditemani dinginnya udara dan suara percakapan dari sinetron nggak jelas di televisi, dan terbangun sejam setelahnya.

Matahari bahkan belum sepenuhnya bangkit dari tidur, langit masih gelap, tapi aku sudah tidak bisa terlelap lagi. Rasanya fisikku benar-benar segar, mataku terbuka lebar, berkebalikan dengan jiwa dan mentalku.

Aku bahkan sudah tidak mau lagi berspekulasi tentang apa yang dilakukan Tama dengan Adel semalaman.

Bukankah sudah jelas? Seorang pria dengan wanita yang saling menyayangi, berdua, hal lebih indah apalagi yang bisa terjadi?

Just say it, I'll give the world to you.

Tanpa aba-aba, kalimat yang pernah Tama katakan padaku saat terakhir kali ia mentraktirku es krim terlintas di benak,

Aku mendengus keras. Aku tidak butuh seluruh dunia, aku hanya butuh kehadirannya, pria itu berada di sampingku, menemaniku, hanya itu. Tapi itu pun tidak bisa dia berikan padaku.

Dasar pembohong.

Tapi meskipun aku sudah dikecewakan dan terluka seperti ini, masih saja ada setitik hatiku yang mengharapkan dia kembali, masuk melewati pintu rumah dan memelukku erat-erat.

Mimpi.

Jangan berharap terlalu banyak, Tavisha. Kamu sudah terlalu kecewa. Apa sih susahnya membunuh setitik harapan kecil yang tersisa itu?

Karena biasanya orang yang terlalu tinggi harapannya, semakin sakit pula rasanya ketika jatuh.

Ting!

Sebuah pesan baru masuk ke gadgetku. Dari Adipati.

Gue udah di depan rumah lo, Vi.

Aku langsung bersiap, meraih sebuah ransel berukuran sedang berisi beberapa pakaian dan kebutuhan mendasarku, dan beranjak keluar. Tadi aku memang sempat melakukan group call dengan Mega dan Adipati, aku hanya bilang kalau aku sudah lelah, kurasa menilik dari nada suaraku yang tidak biasa, Mega langsung menyuruhku ke rumahnya.

Adipati menawarkan diri untuk menjemputku, yang kusetujui tanpa banyak cincong. Lima belas menit kemudian, dia sudah sampai di depan rumahku.

Hatiku langsung melambung akan rasa haru. Ini hari Minggu, jam lima pagi pula, dan mereka rela diganggu olehku ketika biasanya sebagian besar orang lebih memilih untuk bergelung di bawah selimut.

Mengunci pintu dan pagar rumah, aku menghampiri mobil sedan putih yang sudah kukenal dengan baik. Adipati menurunkan kaca jendela, cengirannya yang biasa terukir di wajah.

"Lo kelihatan berantakan banget."

Aku diam tidak menanggapi. Tavisha yang biasanya pasti akan balas menantang dengan jutek, tapi seperti yang tadi kubilang, aku sudah terlalu lelah untuk melakukan apapun.

Cengiran Adipati memudar mendapati wajahku yang lempeng. Aku membuka pintu penumpang, menghempaskan bokongku kesana dan menghela nafas panjang.

"Kenapa, Vi?" Suaranya terdengar khawatir. "Lo ada masalah sama Pak Tama? Tentang apa yang kita lihat waktu itu?"

Brilian. As expected of Ketua OSIS plus murid teladan, Adipati mampu menebak semuanya.

"Gue..." Aku menghela nafas. Entah sudah berapa kali aku menghela nafas dari semalam. Kurasa kalau setiap kali menghela nafas, aku mendapatkan uang satu dollar, pasti aku sudah kaya raya sekarang. "Gue cuma...capek, jenuh. Bisa lo jalan sekarang?" Aku memejamkan mataku.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang