BAB 33

3.7K 168 5
                                        

gue usahain buat ngetik sebanyak-banyaknya krn ini lagi libur, kalo gue udh mulai kuliah nanti...nggak tau deh, bisa tidur aja sukur sujud

Happy reading...

***

Suara kegaduhan samar-samar menembus alam bawah sadarku, membuatku terpaksa membuka mata perlahan. Langit-langit familiar adalah yang pertama kulihat, dan aku langsung sadar bahwa aku sedang berbaring di kamarku.

Aku melirik jam di sebelah nakas. Masih pukul enam pagi, pantas saja matahari masih belum ganas-ganasnya hingga mampu membuatku memicingkan mata. Dari gorden tirai, hanya ada semburat warna biru dan jingga yang terlihat.

Bunyi-bunyian itu terdengar lembut, jenis bunyi yang seharusnya dapat kuabaikan jika itu adalah hari-hari yang biasanya. Namun pasalnya seingatku, beberapa hari ini aku hanya sendiri di rumah. Dan bunyi gaduh itu adalah hal yang seharusnya tidak ada.

Aku berusaha bangkit dengan bertumpu pada sebelah lenganku dan kontan meringis ketika mengingat lukaku yang baru saja dijahit semalam. Ingatan tentang kejadian terakhir menyerbu benakku. Aku menangis tersedu-sedu di pelukan Adipati, lalu setelahnya...aku tertidur?

Apakah dia yang memindahkanku kesini?

Well, harus kuakui, kehadiran Adipati semalam sangat berpengaruh bagi kesehatan jiwaku. Tidak sanggup kubayangkan bagaimana jika aku harus melewati semua kejadian itu sendiri. Mungkin saat ini aku sudah ditemukan tidak bernyawa akibat menelan sebotol baygon.

Yah, tidak akan separah itu, kurasa. Tapi intinya, aku bersyukur ada Adipati yang menemaniku semalaman.

Kakiku bertemu dengan lantai kayu yang terasa dingin menusuk, lantas tubuhku refleks menggigil, mengusap-usap lenganku sekilas sebelum beranjak bangkit. Aku harus mengetahui sumber bunyi gaduh samar itu.

Tapi ternyata aku tidak perlu repot-repot, karena sedetik kemudian, pintu kamarku menjeblak terbuka, menampakkan seraut wajah familiar yang seketika membuatku pengen mewek sejadi-jadinya.

"Tavisha!" Sosok itu menutup mulutnya dengan sorot tidak percaya ketika meneliti penampilanku dari atas sampai bawah. Matanya kontan berkaca-kaca dan ia menghambur memelukku. "Aduh, kenapa kamu begini?!" serunya.

Sebutir air mata menetes mengaliri pipiku, dan aku langsung membalas pelukannya. Perasaanku terasa campur aduk, sedih, lega, takut, gelisah tapi yang paling dominan adalah rindu. Aku mulai terisak. "Mama..." panggilku.

"Iya, iya, Vi, ini Mama." Mama mengelus rambut jejadianku dengan lembut. Suaranya tercekat, "Aduh, malangnya anak Mama."

Pelukan hangat yang paling kurindukan itu seketika merobohkan semua pertahananku. Seperti kemarin malam, aku kembali terisak di pelukan Mama, seperti anak kecil, meraung sejadi-jadinya, menumpahkan semuanya.

Rasa puas mengaliri tubuhku kala isakanku mereda, berganti dengan tarikan-tarikan ingus yang sesekali terdengar. Perlahan Mama melepaskan pelukannya. Wajahnya terlihat lelah, kalut dan khawatir, matanya merah dan sembab.

Dan dadaku langsung dihunjam oleh rasa bersalah.

Kalau Mama ada disini, itu hanya berarti satu hal.

Seakan menjawabku, Mama menjelaskan. "Mama udah tahu semuanya, Vi. Adipati semalam menelepon Mama tiba-tiba dan menceritakan semuanya." Mama menarik nafas dan menggenggam tanganku erat. "Mama langsung meninggalkan semua pekerjaan dan pulang dengan pesawat paling pagi."

Aku tidak tahu harus marah atau berterimakasih kepada Adipati karena sudah seenak jidat memberitahu Mama.

Well, dia tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Dia melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Aku menyerah. Tidak seharusnya aku menyembunyikan semuanya hanya karena ingin menjadi anak baik yang membuat Mama dan Papa bangga padaku.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang