BAB 41

4.4K 197 12
                                        

"Why do we have to move?!"

Tama membentak pada gadgetnya yang di-loudspeaker sementara kedua tangannya memutar kemudi mobil dengan luwes. Bukannya ketakutan layaknya kebanyakan orang ketika ia sudah menggunakan nada seperti itu, malah terdengar suara tawa dari seberang sana.

"Come on, dude. Resto lo ngebosenin, sekali-sekali kita harus ganti suasana!" seru Chris, salah satu teman terbaiknya yang barusan kembali dari Eropa. "Nih, Kyou juga sependapat."

Terdengar gumaman tak jelas. Tama mendengus. Kyouichirou tidak akan setuju dan juga tidak akan memprotes, arsitek berketurunan Jepang itu tidak akan peduli pada apapun selain pekerjaannya.

Tama menyerah. Toh dua dari tiga sohibnya sudah berpindah tempat, tidak ada gunanya lagi ia memprotes, meskipun dia sudah me-reserved meja VVIP di restorannya. Dasar teman tidak tahu diuntung.

"Dimana tadi lo bilang?" tanyanya masih dengan nada tak senang.

"Wassb, dude, Wassb. Tahu 'kan lo? Café yang baru dibuka bulan lalu ini. Gila, orangnya rame banget. Soalnya hari ini katanya ada live band."

Tama tidak peduli apakah ada live band ataukah ada sirkus atraksi yang sedang beraksi di sana. Dia segera menghidupkan lampu sen, dan berbelok kanan. "Be there in five mins." katanya sebelum mematikan panggilan.

Bukannya bermaksud menghakimi atau mempromosikan restorannya sendiri, tapi Adhitama sendiri tidak terlalu suka dengan café-café sejenis Wassb yang semakin semarak sekarang. Hanya dengan bermodal gaya-gaya hits yang digemari anak-anak abege, plus wifi gratis dan makanan murah, voila, nama café akan melejit bagaikan roket.

Tidak peduli bahwa makanan yang disajikan hanya berkutat pada indomie, nasi goreng, dan segala makanan lainnya yang sama sekali tidak baik untuk kesehatan.

Dan live band katanya? Pantas saja café Wassb digemari.

Tunggu beberapa bulan lagi, Tama yakin café seperti Wassb akan tutup karena gayanya sudah terlalu mainstream, banyak cafe-cafe baru yang akan berusaha berinovasi lebih banyak, saling berkejar-kejaran membuka sebuah tempat nongkrong bagi anak-anak muda yang tidak tahu harus kemana pada malam minggu seperti ini.

Tidak seperti restorannya yang lebih mengutamakan makanan lezat dan pelayanan pengunjung.

Sekali lagi, bukannya dia bermaksud mempromosikan.

Tama berbelok sekali lagi, dan tanda palang bertuliskan Wassb yang dihias besar-besaran langsung tampak dari radius dua ratus meter. Dari kejauhan saja, Tama sudah bisa melihat banyaknya mobil dan motor yang parkir di pelataran café, membuatnya lebih memilih parkir di lahan kosong yang berjarak agak jauh.

Sesuai dugaan, Café itu bergaya kekinian, kalau mengutip dari perkataan kids jaman now, sangat Instagram-able. Semua meja hampir terisi, penuh dengan geng-geng anak remaja yang merokok, bercakap-cakap meski hanya memesan segelas teh manis dingin, dan juga anak-anak yang memanfaatkan wifi gratis.

Chris melambaikan tangannya dengan bersemangat, otomatis Tama berjalan kesana lengkap dengan wajah masam. Ia mengambil tempat duduk di samping Kyou yang sedang menggambar sesuatu di tisu. Temannya yang satu ini memang agak aneh dan eksentrik.

"Nih, gue dapet tempat duduk tengah. Susah banget, dude! Gue mesti nego sama cewek-cewek cantik disana." Chris mengedipkan mata ke meja belakang yang penuh dengan sekumpulan anak remaja perempuan dengan dandanan yang menurut Tama terlalu menor untuk anak seusia mereka.

Mereka menjerit histeris dengan muka bersemu merah. Tidak biasa menjumpai lelaki penggoda semacam Christopher Hatamyde.

Tama memutar bola mata. Kelakukan Chris sejak dulu sampai sekarang tidak pernah berubah. Masih saja playboy yang hobi mematahkan hati perempuan. Yah, bukannya Tama dulu tidak seperti itu. Dia hanya sudah bertobat.

Look At Me ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang